Kamis, 25 Juni 2009

Metode Baru Pembelajaran Sejarah

Metode Baru Pembelajaran Sejarah

Tahun ini adalah kali kelima pelaksanaan Lawatan Sejarah Nasional atau Lasenas. Diikuti sekitar 200 siswa dan guru
sejarah SMA dari seluruh provinsi di Indonesia, Lasenas ini sungguh istimewa. Pada 13 Agustus 2007, Menteri
Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memberi sambutan
sekaligus melepas peserta menuju Sumatera Barat.

Kali ini pula Departemen Pendidikan Nasional terlibat langsung, seperti tampak dengan dukungan anggaran. Mudah
dimengerti karena sesungguhnya Lasenas berada di ranah pendidikan. Dalam sambutannya, Mendiknas mengatakan
bahwa Lasenas merupakan metode baru bagi pembelajaran sejarah yang efektif.

Lasenas yang berakhir pada 18 Agustus itu mengunjungi sejumlah situs dan monumen bersejarah dengan tema
"Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai Mata Rantai Perjalanan NKRI". Ide itu mendukung tema utama setiap
Lasenas sejak 2003, yakni "Merajut simpul- simpul Perekat Keindonesiaan".

Pengertian "nasional" pada Lasenas berarti ruang lingkup sejarah Indonesia dan merupakan tingkat yang lebih tinggi dari
Lawatan Sejarah Daerah (Laseda). Penyelenggara Laseda adalah Balai Pelestarian (d/h Kajian) Sejarah dan Nilai
Tradisional, unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di daerah. Peserta Lasenas adalah
mereka yang terpilih dari Laseda. Lasenas diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah Depbudpar.

Lawatan adalah mengunjungi situs dan monumen bersejarah yang bermakna integrasi bangsa dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk memperoleh pemahaman dan pemaknaan itu,
peserta Lasenas berdiskusi dan berdialog dengan sejarawan, tokoh, dan pelaku sejarah.

Selain itu, peserta Lasenas— dengan berpakaian daerah masing-masing—mengikuti upacara HUT Kemerdekaan 17
Agustus di daerah tujuan Lasenas, dapat memberi warna dan makna tersendiri. Periode pelaksanaan Lasenas memang
ditetapkan dalam suatu pekan, termasuk di dalamnya tanggal 17 Agustus. Jadi, "lawatan" tidak sama dengan perjalanan
wisata biasa.

Mengapa disebut "lawatan"? Bukankah istilah itu hanya cocok untuk kunjungan ke negeri asing, seperti istilah untuk
kepala negara apabila bepergian ke China misalnya.

Akan tetapi, bukankah Indonesia juga merupakan "negeri" asing bagi kebanyakan warganya? Buktinya, bukan hanya tidak
saling mengenal satu sama lain, tetapi juga masih banyak terjadi peristiwa seperti konflik sosial yang marak antara 1999-
2001. Kalau begitu, mungkin benar konstatasi Benedict Anderson bahwa Indonesia adalah "komunitas yang dibayangkan".
Keprihatinan akibat konflik itulah yang menjadi dasar penciptaan Lasenas. Mengapa melalui sejarah? Bukankah sejarah
yang kita warisi lebih banyak tentang konflik dan kekerasan. Celakanya lagi, materi sejarah yang diberikan di sekolah
banyak tentang perang antarkerajaan dan konflik di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Maka boleh jadi ingatan
kolektif bangsa ini didominasi oleh konflik dan perseteruan saja.

Sebenarnya banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya. Banyak bukti peristiwa sejarah sebagai faktor integrasi bangsa.
Oleh karena itulah, dengan Lasenas, fakta sejarah seperti itu dapat dirajut sebagai simpul- simpul perekat keindonesiaan.
Dalam perspektif historis, integrasi bangsa—menurut Taufik Abdullah—adalah salah satu konsep yang ditemukan dalam
sejarah Indonesia. Kehidupan dalam masa kolonial Belanda bagi penduduk di kepulauan Indonesia—meskipun dengan
intensitas tidak merata—adalah nasib yang dirasakan secara bersama (common destiny).

Selain dari aspek politik, pendekatan budaya dalam mempelajari sejarah perlu dilakukan. Proses keindonesiaan adalah
juga karena faktor sosio-budaya. Pelayaran dan perdagangan menjadi sarana perkembangan ekonomi dan persebaran
sukubangsa dari masyarakat yang beragam. Perkembangan itu sudah berlangsung jauh sebelum orang Eropa
menginjakkan kakinya di kepulauan ini. Gejala itu juga merupakan simpul-simpul perekat keindonesiaan.
Dengan tindakan pemerintah kolonial Belanda membuang atau mengasingkan para pejuang yang melawan, melalui
pemikiran atau angkat senjata, praktik kolonialisme justru semakin mempererat simpul-simpul keindonesiaan. Di tempat-
tempat pengasingan yang tersebar di Tanah Air, para pejuang bangsa berinteraksi dengan sesama mereka dan
masyarakat sekitar. Maka, makin tersebar dan kuatlah semangat persatuan untuk membebaskan diri dari kolonial
Belanda.

Kilas balik

Begitulah, Lasenas pertama tahun 2003 adalah perjalanan mengunjungi tempat-tempat pengasingan pejuang di Jawa.
Sumedang adalah tempat pengasingan dan makam Cut Nyak Dien. Di Sukabumi dapat dikunjungi bekas rumah
pengasingan Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir selama dua bulan sebelum datangnya tentara Jepang di Indonesia
Maret 1942.

Cianjur adalah tempat pengasingan Tuanku Imam Bonjol setelah ditangkap tahun 1837. Pimpinan Perang Paderi itu
kemudian dibuang ke Ambon dan ke Manado hingga wafat dan dimakamkan di Desa Lotak. Bandung bukan saja
merupakan tempat pengasingan bagi Sultan Bone Segeri La Pawiwoi pada tahun 1905, tetapi juga penjara Sukamiskin
bagi Soekarno sebelum dibuang ke Ende, Flores (1931-34). Selain Cut Nyak Dien, pejuang wanita dari Aceh, Poceut
Meurah Intan diasingkan Belanda di Blora hingga wafat pada tahun 1934.

Lasenas kedua dilaksanakan di Aceh dan Sabang tahun 2004 bertema "Dari Titik Nol Kilometer Merajut Indonesia". Dari
titik ini ditegaskan bahwa Aceh merupakan daerah modal bagi NKRI. Sementara itu, aktivitas Dr Jonas Latumeten selaku
Kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang (1931-35) dapat disebut simpul Indonesia. Dokter asal Ambon inilah yang
membantah pendapat Belanda bahwa orang Aceh pelaku aksi membunuh orang Belanda secara sporadis dianggap
"gila". "Aceh moorden" yang menakutkan Belanda itu, menurut Latumeten, dilakukan secara sadar, semacam rituelle
extase.

Ada dua simpul bermakna dalam Lasenas ketiga, tahun 2005, di Makassar-Selayar. Pertama, sejarah sebagai faktor
pendamai, dan kedua, peran Makassar dalam sektor kelautan. Generasi kini perlu diberi pengertian historis untuk
mendudukkan secara obyektif tentang Sultan Hasanuddin dan Arupalaka. Jika yang pertama digelari "pahlawan" bukan
berarti yang kedua "pengkhianat". Di Makassar ini pula terdapat makam Pangeran Diponegoro yang wafat pada 1855.
Pahlawan nasional ini sebelumnya dibuang ke Manado.

Lasenas keempat, tahun 2006, di Bangka bertema "Pangkalpinang Pangkal Kemenangan". Di sini tampak peran orang
Bangka dalam merajut simpul perekat Indonesia. Penduduk di Pangkalpinang dan Menumbing- Muntok dengan antusias
mendukung perjuangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah pimpinan tinggi
negara dalam pembuangan, setelah Yogyakarta diduduki Belanda 18 Desember 1948. Padahal, Bangka Belitung saat itu
merupakan daerah yang dikuasai Belanda.

Maka, Lasenas kelima tahun ini hendak menegaskan betapa pentingnya PDRI sebagai satu mata rantai NKRI. Sebab,
mengabaikannya berarti menghilangkan satu mata rantai penting itu. Tanpa PDRI apakah mungkin RI bertegak? Pun
untuk menegaskan betapa besarnya dukungan rakyat, khususnya di Sumatera Barat, terhadap perjuangan dalam
menegakkan NKRI.

Lalu, kapan Lasenas sampai ke Tanah Papua? Perlu dicatat, di Serui, Kabupaten Waropen, terdapat tempat pengasingan
Sam Ratulangie beserta enam orang pengikutnya antara tahun 1946-1948. Itu akibat mereka menolak bekerja sama untuk
mengembalikan pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi.

Tidak cuma itu di sanalah pengaruh mereka yang dikenal sebagai "Bapak Merdeka" mendorong Frans Kasiepo dan
kawan-kawan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jangan dilupakan bahwa penjara Boven Digul
yang dibangun tahun 1927 bagi para pejuang bangsa juga merupakan simpul perekat keindonesiaan.

Secara tersirat pemaparan di atas memperlihatkan perkembangan sejarah sebagai warisan bersama (common historical
destiny) menjadi dasar bagi terwujudnya identitas politik bersama (common political identity). Jadi, "Indonesia" adalah
perwujudan identitas politik terus-menerus dari masa kini ke masa depan untuk mencapai cita-cita bersama. Dalam
konteks ini, peserta Lasenas diharapkan meresapi makna perjalanan keindonesiaan itu: lampau, kini, dan masa depan.
Jika sejarah dapat memberi inspirasi untuk memperkuat keindonesiaan, maka belajar sejarah memang ada gunanya.
Selain itu, belajar sejarah adalah hal menyenangkan. Begitulah menurut Sartono Kartodirdjo: sejarah adalah juga pesona
lawatan.

Susanto Zuhdi Penggagas Lawatan Sejarah Daerah dan Nasional, Mantan Direktur Sejarah/Asisten Deputi Sejarah
Nasional pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2001-2006)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/28/humaniora/3794955.htm
copy from http://www.duniaesai.com/sejarah/sejarah10.html


Bookmark and Share

2 komentar:

  1. kok tampilan blognya aneh..travel sejarah...keren juga tuh..

    BalasHapus
  2. buat dewa api. Ia neh yuk kita garap bareng wisata sejarah bung... Salam dari jogja.

    BalasHapus