Selasa, 08 Desember 2009

Pecandu Internet Berisiko Besar Melukai Diri Sendiri


JAKARTA, KOMPAS.com - Remaja yang kecanduan internet punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan perbuatan yang membahayakan diri mereka. Demikian hasil studi ilmuwan Australia-China.

Seperti dilaporkan Reuters, pekan lalu para peneliti mengkaji 1.618 remaja berusia 13 sampai 18 tahun dari Provinsi Guangdong di China mengenai perilaku memukul diri, menjambak, mencubit atau membakar diri. Para responden juga diberi tes guna mengukur tingkat kecanduan mereka terhadap internet.

Tes itu mendapati bahwa sebanyak 10 persen siswa yang disurvei kecanduan internet pada tingkat sedang, sementara kurang dari satu persen adalah pecandu berat internet. Kecanduan internet telah dikategorikan sebagai masalah kesehatan mental sejak pertengahan 1990-an dengan gejala yang serupa dengan kecanduan lain.

"Semua siswa yang dikategorikan sebagai kecanduan tingkat sedang terhadap internet, 2,4 kali lipat lebih besar kemungkinannya melukai diri sendiri, satu sampai lima kali dalam 6 bulan belakangan dibandingkan dengan siswa yang tidak kecanduan internet," kata Dr. Lawrence Lam dari University of Notre Dame, Australia dan rekannya dari Sun Yat-Sen University, Guangzhou dalam hasil risetnya.

Mereka mengatakan hasil itu menunjukkan hubungan "yang kuat dan mencolok" antara kecanduan internet dan tindakan melukai diri di kalangan remaja bahkan jika dihitung bersama variabel lain yang berkaitan dengan perilaku seperti depresi, ketidakpuasan pada keluarga, atau peristiwa hidup yang membuat stres. Para peneliti mengatakan hal itu menunjukkan bahwa kecanduan ialah satu faktor risiko terpisah bagi tindakan melukai diri.

Para ahli menafsirkan kecanduan internet antara lain jika ada perasaan depresi, gelisah, dan murung ketika tidak melakukan kegiatan internet. Semua itu baru bisa hilang ketika pecandunya kembali melakukan kegiatan online. Mengkhayal atau terlalu memikirkan kegiatan online adalah tanda lain mengenai kecanduan internet. Meski diakui soal kecanduan internet ini perlu diteliti lebih lanjut.
sumber:
http://id.news.yahoo.com/

Kritik Stiglitz atas Pasar Bebas


TEMPO Interaktif, Joseph Stiglitz boleh disebut sebagai pemikir ekonomi saat ini yang sangat kritis terhadap konsep pasar bebas. Sebagai mantan pejabat dunia, ia menguliti kebijakan-kebijakan Bank Dunia maupun Badan Moneter Internasional (IMF).

Film dokumenter karya Jacques Sarasin yang berjudul Around the World with Josep Stiglitz (2009) ini selama 88 menit menyajikan perjalanan Stiglitz dari kota kelahirannya, Gary, Indiana, menyusuri negara berkembang Ekuador, Botswana, sampai kemudian menuju India dan Cina.

Dengan kacamata pandang Stiglitz, film ini memperlihatkan bagaimana negara-negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, karena kebijakan yang salah, tetap miskin. Ekuador misalnya. Wilayah Ekuador dekat dengan hutan Amazon, yang kaya akan sumber daya minyak mentah. Perusahaan asing Texaco yang menambangnya.

Setelah kontrak penambangan habis, perusahaan itu meninggalkan begitu saja wilayah tersebut sehingga pencemaran tanah dan air terjadi. Fauna mati di sana-sini. Semestinya penduduk desa dekat Amazon sudah harus jauh-jauh pergi dari wilayah itu. Apa daya, mereka bertahan karena tanah leluhur. Tak ada solusi yang jelas. Mereka kaya akan sumber daya alam, tapi tetap berada dalam kemiskinan.

Lain halnya dengan desa di wilayah Botswana. Perusahaan penambang timah mengharuskan penduduk asli yang menempati daerah sekitar pertambangan harus mengosongkan wilayah itu pada radius 5 kilometer. Alih-alih menjadi daerah penyeimbang, yaitu kawasan hijau, masyarakat malah dirugikan. Ekonomi tidak berputar di negara itu.

India tidak semacam itu. Sebagian besar penduduknya adalah petani. Subsidi besar yang diberikan pemerintah Amerika kepada petani di negaranya membuat petani-petani di negara berkembang kalah bersaing. Harga kapas dan kedelai menjadi rendah karena pasokan dari Amerika yang sangat besar jika perdagangan bebas diberlakukan. Menurut Stiglitz, di sinilah pentingnya insentif. Negara berkembang selayaknya memberikan insentif untuk menyelamatkan petani.

Pada lawatan terakhirnya, Stiglitz menganggap Cina adalah contoh negara yang berhasil dalam globalisasi. Persaingan ekonomi tumbuh subur, baik di dalam negeri sendiri maupun di kancah internasional. Negara yang berpenduduk besar dan tak luput dari kemiskinan itu memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan.

Stiglitz tahu bahwa konsep pasar bebas bagi negara-negara yang tidak siap dengan potensinya akan semakin menjadi buruk. Solusi yang ditawarkan Bank Dunia maupun IMF tak semuanya efektif diterapkan. Dalam film ini, ia mencoba menawarkan solusi untuk sebuah jenis globalisasi yang adil, namun tetap kompetitif.


Judul : Around the World with Joseph Stiglitz
Tahun produksi : 2009
Genre : Film dokumenter
Durasi : 88 menit
Sutradara : Jacques Sarasin

Subtitle : bahasa Inggris

Ismi Wahid
dicopy dari:
http://tempointeraktif.com
Rabu, 09 Desember 2009 | 07:39 WIB

Selasa, 01 Desember 2009

Sutradara "Balibo" Kecewa Filmnya Dilarang


VIVAnews - Sutradara film "Balibo" mengaku kecewa atas larangan penayangan film tentang kematian lima jurnalis Australia di Timur Timur (Timor Leste) pada 1975 tersebut. Film yang dibuat berdasarkan peristiwa "Balibo Five" dan dirilis di Australia awal 2009 tersebut sedianya tayang perdana di Jakarta pada Selasa malam, 1 Desember 2009.

Namun hanya beberapa jam sebelum tayang, film garapan sutradara Australia, Robert Connolly, tersebut dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

"Lihat, saya sangat kecewa. Saya punya harapan sangat tinggi terhadap film ini dan juga harapan akan dampaknya bila film ini diputar di Indonesia," kata Robert Connolly kepada stasiun televisi ABC News, Rabu 2 Desember 2009. "Saya menyesalkan bahwa meski di zaman demokrasi sekarang di Indonesia, rakyat Indonesia tidak bisa menyaksikan film yang berhubungan dengan, kita tahu, sejarah mereka," lanjutnya.

Kekecewaan yang dirasakan Connolly diibaratkan sebagai seorang produser yang membuat film pada tahun 1980 mengenai peristiwa-peristiwa tahun terakhir Perang Dunia II, kemudian menerima pemberitahuan kalau film tersebut tidak bisa ditayangkan.

"Sebenarnya, kalau kita memikirkan rentang waktu dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode sejarah itu, kita bisa meneliti peristiwa-peristiwa tahun 1975 itu secermat mungkin," kata sutradara yang ikut menulis naskah "Balibo".

Film "Balibo" dibuat berdasarkan peristiwa Balibo Five di mana sekelompok pencari berita jaringan televisi Australia di kota Balibo, dibunuh pada 16 Oktober 1975 dalam serangan TNI ke wilayah tersebut sebelum invasi Indonesia ke Timor Timur.

Pada 2007, pengadilan Australia menetapkan bahwa para jurnalis tersebut sengaja dibunuh oleh pasukan khusus Indonesia. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, mereka terbunuh dalam sebuah baku tembak.

Mereka yang menjadi korban Balibo Five adalah dua warga Australia, yakni reporter Greg Shackleton (27 tahun) dan perekam suara Tony Stewart (21 tahun); seorang warga Selandia Baru, juru kamera Gary Cunningham (27 tahun) yang bekerja untuk jaringan HSV-7 (Seven Network) di Melbourne; serta dua warga Inggris, yakni juru kamera Brian Peters (29 tahun) dan reporter Malcolm Rennie (28 tahun) yang bekerja untuk jaringan TCN-9 (Nine Network) di Sydney.
• VIVAnews
di copy dari:
http://dunia.vivanews.com/

Rabu, 2 Desember 2009, 12:05 WIB

Sutradara "Balibo" Kecewa Filmnya Dilarang

VIVAnews - Sutradara film "Balibo" mengaku kecewa atas larangan penayangan film tentang kematian lima jurnalis Australia di Timur Timur (Timor Leste) pada 1975 tersebut. Film yang dibuat berdasarkan peristiwa "Balibo Five" dan dirilis di Australia awal 2009 tersebut sedianya tayang perdana di Jakarta pada Selasa malam, 1 Desember 2009.

Namun hanya beberapa jam sebelum tayang, film garapan sutradara Australia, Robert Connolly, tersebut dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

"Lihat, saya sangat kecewa. Saya punya harapan sangat tinggi terhadap film ini dan juga harapan akan dampaknya bila film ini diputar di Indonesia," kata Robert Connolly kepada stasiun televisi ABC News, Rabu 2 Desember 2009. "Saya menyesalkan bahwa meski di zaman demokrasi sekarang di Indonesia, rakyat Indonesia tidak bisa menyaksikan film yang berhubungan dengan, kita tahu, sejarah mereka," lanjutnya.

Kekecewaan yang dirasakan Connolly diibaratkan sebagai seorang produser yang membuat film pada tahun 1980 mengenai peristiwa-peristiwa tahun terakhir Perang Dunia II, kemudian menerima pemberitahuan kalau film tersebut tidak bisa ditayangkan.

"Sebenarnya, kalau kita memikirkan rentang waktu dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode sejarah itu, kita bisa meneliti peristiwa-peristiwa tahun 1975 itu secermat mungkin," kata sutradara yang ikut menulis naskah "Balibo".

Film "Balibo" dibuat berdasarkan peristiwa Balibo Five di mana sekelompok pencari berita jaringan televisi Australia di kota Balibo, dibunuh pada 16 Oktober 1975 dalam serangan TNI ke wilayah tersebut sebelum invasi Indonesia ke Timor Timur.

Pada 2007, pengadilan Australia menetapkan bahwa para jurnalis tersebut sengaja dibunuh oleh pasukan khusus Indonesia. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, mereka terbunuh dalam sebuah baku tembak.

Mereka yang menjadi korban Balibo Five adalah dua warga Australia, yakni reporter Greg Shackleton (27 tahun) dan perekam suara Tony Stewart (21 tahun); seorang warga Selandia Baru, juru kamera Gary Cunningham (27 tahun) yang bekerja untuk jaringan HSV-7 (Seven Network) di Melbourne; serta dua warga Inggris, yakni juru kamera Brian Peters (29 tahun) dan reporter Malcolm Rennie (28 tahun) yang bekerja untuk jaringan TCN-9 (Nine Network) di Sydney.
• VIVAnews
di copy dari:
http://dunia.vivanews.com/

Rabu, 2 Desember 2009, 12:05 WIB