Senin, 16 November 2009

Televisi, Bikin Hidup Lebih Redup

TEMPO Interaktif, Letty hampir tidak pernah ketinggalan menonton reality show di televisi. Dia mengikutinya dari acara Cinta Lokasi, Cinta Lama Bersemi Kembali, hingga Termehek-mehek.

Sebenarnya Letty sadar reality show yang lagi marak itu adalah dagelan. Namun, siswi kelas II sekolah menengah pertama di Sukabumi ini merasa tidak punya pilihan acara hiburan lain bagi anak seusianya. "Sambil ngemil tambah seru," ujar gadis 14 tahun ini.

Eksistensi kotak ajaib itu memang menjadi bagian kehidupan anak dan remaja. Namun, orang tua seharusnya waspada. Dari temu ilmiah Persatuan Ahli Gizi (Persagi) di Surabaya, Jumat-Minggu lalu, studi tiga ahli gizi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menemukan ada hubungan intensitas menonton televisi dengan status gizi remaja.

Menurut para ahli gizi (di antaranya Irianton Aritonang, Ida Rubaida, dan Idi Setiyobroto), televisi, yang keberadaannya dirayakan sedunia tiap 21 November, mempengaruhi kebiasaan makan remaja lewat iklan makanan yang tinggi gula, lemak, dan garam, serta rendah serat. Akibatnya, banyak remaja punya pola makan yang salah.

Studi menunjukkan, remaja yang menonton televisi selama dua sampai empat jam sehari, 33,3 persennya mengkonsumsi energi melebihi yang dianjurkan. Lalu 77,4 persen asupan energi lemak didapati lebih dari 25 persen dari total energi. Sebanyak 20,4 persen subyek menderita gizi lebih.

Adapun kelebihan gizi sendiri mengarah pada penyakit degeneratif dan obesitas. Studi ini melibatkan 93 siswa sekolah menengah pertama favorit di Yogyakarta. Status gizi ditetapkan berdasarkan persentil indeks massa tubuh (IMT) menurut usia pada kurva standar baku Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tak hanya itu, spesialis saraf anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Dr Dwi Putro Widodo SpA, mengatakan bahwa televisi akan sangat mempengaruhi perilaku anak yang menontonnya dengan berlama-lama. Menurut Dwi, apa yang diserap dari gambar bergerak terproses di saraf dan diterjemahkan lewat perilaku. "Semua itu ujungnya ke saraf," ujar Dwi ditemui di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi, psikolog anak dan remaja, mengatakan tayangan televisi yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangan anak adalah pembelajaran salah yang diperoleh anak. Misalnya, Fabiola mencontohkan, anak belajar cara menunjukkan rasa marah melalui kata-kata kasar seperti di televisi. "Banyak kata-kata baru yang dipelajari anak, dan mereka akan menggunakan kata-kata tersebut ketika berinteraksi dengan lingkungannya," ujar Fabi melalui sambungan telepon pekan lalu.

Selain membuat anak berperilaku buruk, menurut Fabi, televisi membuat manajemen waktu anak menjadi tidak efektif. Seperti waktu belajar, bermain kreatif, dan bersosialisasi. Hal itu, menurut dosen di Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Jakarta, ini, dapat menghambat anak untuk mengembangkan keterampilan bersosialisasi.

Dalam perspektif Fabiola, anak 0-2 tahun sebenarnya tidak dianjurkan menyaksikan televisi. Mereka lebih baik mendapatkan stimulasi lewat interaksi langsung orang tua dan lingkungannya. Beberapa studi menyimpulkan, anak 6-9 tahun, maksimal diperbolehkan menyaksikan acara televisi sekitar 60 menit. Sedangkan untuk anak 9-13 tahun, maksimal selama 90 menit.

Fabiola, pengasuh di www.curhat.net ini, menyarankan kepada orang tua untuk memberi contoh nyata pada anak, dengan tidak menjadikan televisi sebagai satu-satunya kegiatan. Orang tua bisa mendampingi anak menonton sambil mendiskusikan dengan anak akan dampak buruk dari acara televisi.




Efek Televisi

1. Anak jadi terbiasa menerima dan melakukan interaksi satu arah dari tayangan televisi sehingga anak kurang memiliki kesempatan dan kemampuan dalam menjalin interaksi sosial dua arah.
2. Waktu menjadi tidak efektif. Waktu tidur malam menjadi waktu menonton. Akibatnya, saat belajar di sekolah dari pagi hingga siang, anak mengantuk.
3. Prestasi belajar anak menurun karena kurang punya waktu untuk mengulang pelajaran, menggali potensi, dan melakukan kegiatan belajar di luar waktu sekolah.
4. Anak tidak memiliki waktu cukup menggali dan menekuni minat dan bakatnya di berbagai aspek kecerdasan. Misalnya menekuni bidang musik atau olahraga.
5. Anak akan mengalami obesitas karena kurangnya kesempatan untuk melakukan olah gerak tubuh.
6. Anak kurang mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah secara kreatif. Umumnya acara televisi memberikan semua informasi--baik benar maupun salah--dan kurang memberi kesempatan agar anak aktif menemukan sendiri solusi masalah.

Sumber: Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi | HERU TRIYONO
di copy dari:
http://tempointeraktif.com
Selasa, 17 November 2009 | 07:29 WIB