Jumat, 01 Januari 2010

Daerah Istimewa Yogyakarta

Tentang Daerah Istimewa Yogyakarta
Image content

ASAL USUL
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan, karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II) kemudian bergelar Adipati Paku Alam 1.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 No.47, dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada saat proklamasi kemerdekaan R1, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepadaPresiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara RI, sertabergabung menjadi satu, mewujudkan satu kesatuan Daerah lstimewa Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Pegangan hukumnya adalah:
a.Piagam kedudukan Sri Sultan (Hamengku Buwono IX dan S. Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dart Presiden RI.
b.Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
c.Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara RI tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta pada waktu itu mempunyai kenangan tersendiri terhadap kota Yogyakarta. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Pemerintah RI, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peran yang sangat menentukan didalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Kemudian Negara RI mengeluarkan Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1957. Penetapan Presiden RI No. 6 tahun 1959 (disempurnakan), kemudian Undang-undang No. 18 tahun l964. Kesemuanya itu mengatur perihal pembentukanPemerintahan Daerah Otonom. Yang terakhir Undang-­ undang No. 5 tahuri 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah kecuali mengatur Pemerintahan Daerah Otonom, sekaligus mengaturPemerintahan Administratif.
Sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk secara tersendiri dengan Undang-undangNo. 3 tahun 1950 jo. No. 19 tahun 1950 yang sampai saat ini masih berlaku. Undang-undang No. 5 tahun 1974 Bab VII Aturan Peralihan pasal 91 (b) menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa menurut Undang-undang ini, dengan sebutan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa".
Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang­-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
Sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat pada 3 Oktober 1988, Sri Paku Alam VIII, Wakil Gubernur Kepala Derah Istimewa Yogyakarta ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sehari-hari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, diberi kedudukan sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 340 tahun 1988.
Sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram.
Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia.
Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, bahkan, yang terbaru, wisata malam.
Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Letak Geografis
Letak Astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 7o15- 8o15 Lintang Selatan dan garis 110 o 5- 110 o 4 Bujur Timur, dengan batas wilayah:
Sebelah Barat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
Sebelah Barat Laut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Sebelah Timur Laut Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Sebelah Timur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
Sebelah Selatan Samudera Indonesia.
Luas Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 km2 terdiri atas Kota Yogyakarta 32,50 km2 , Kabupaten Sleman 574,82 km2 , Kabupaten Bantul 506,85 km2 ,Kabupaten Kulon Progo 586,27 km2,Kabupaten Gunung Kidul 1485,36 km2.


Iklim

a. Temperatur
Temperatur harian rata-rata berkisar antara 26,6 o C sampai 28,8 o C sedang temperatur minimum 18 o C dan maximum 35 o C.
b. Kelembaban Udara
Kelembabab udara rata-rata 74 % dengan kelembaban minimum 65 % dan maximum 84 %.
c. Curah hujan
Curah hujan bervariasi antara 3 mm samapi 496 mm. Curah hujan diatas 300mm terjadi pada bulan Januari ,Pebruari,April. Curah hujan tertinggi 496 mm terjadi pada bulan Pebruari dan curah hujan terendah 3mm sampai 24 mm terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan tahunan rata-rata 1855 mm.

Keadaan Alam
Disebagian utara seluas lebih kurang 4 % tanah miring (kelanjutan dari gunung berapi ) dengan sifat-sifat : wilayah hujan,kaya akan mata air dan sangat subur.
Dibagian selatan/barat seluas lebih kurang 7 % dari barat ke arah selatan dengan ketinggian semakin rendah berakhir pada daratan pantai alluvial dengan sifat tanah : wilayah hujan,banyak mata air. Dibagian tengah seluas 41 % merupakan tanah datar/ngarai dengan sifat tanah cukup subur,jaringan pengairan baik dengan penduduk yang padat.

Tipe Tanah
Tanah Regosal/vulkanis muda yang terletak antara sungai Progo dan sungai Opak (di Kabupaten Sleman dan Bantul)
Tanah Latosol dan Inargalit terletak di atas batu kapur terdapat di daerah Gunung Kidul dan perbukitan Kabupaten Bantul serta Kabupaten Kulonprogo.
Tanah Alluvial dan Regosal terdapat di sepanjang selatan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo.

Kependudukan
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan registrasi tahun 2000 sebanyak 3.120.478 jiwa. Pada tahun 2006 berdasarkan hasil Susenas jumlah penduduk tercatat sebanyak 3.518.492 jiwa dengan perincian: Kota Yogyakarta 519.633 jiwa, Kabupaten Sleman 829.851 jiwa,Kabupaten Bantul 814.370 jiwa, Kabupaten Kulonprogo 457.817 jiwa dan Kabupaten Gunung Kidul 896.821 jiwa.Kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata 1.104 jiwa/km2 (Sumber data :BPS Provinsi DIY)

Administrasi Pemerintahan
Sebagai Daerah Otonom, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1950 jo Nomor : 19 tahuin 1950 terbagi dalam 5 Daerah Tingkat II yang terdiri satu daerah Kota dan empat Kabupaten masing-masing :
Kota Daerah Tingkat II Yogyakarta terdiri dari 14 Kecamatan dan 45 Kelurahan.
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman terdiri dari 17 Kecamatan dan 86 Desa.
Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul terdiri dari 17 Kecamatan dan 75 Desa.
Kabupaten Daerah Tingkat II Kulonprogo terdiri dari 12 Kecamatan dan 75 Desa.
Kabupaten Daerah Tingkat II Gunung Kidul terdiri dari 13 Kecamatan dan 144 Desa.

Pada tahun 2007 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota dengan 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan yaitu :
Kota Yogyakarta terdiri dari 14 Kecamatan dan 45 Kelurahan.
KabupatenSleman terdiri dari 17 Kecamatan dan 86 Desa.
Kabupaten Bantul terdiri dari 17 Kecamatan dan 75 Desa.
Kabupaten Kulonprogo terdiri dari 12 Kecamatan dan 88 Desa.
Kabupaten Daerah Tingkat II Gunung Kidul terdiri dari 18 Kecamatan dan 144 Desa.

DASAR FILOSOFI PEMBANGUNAN DAERAH

Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hakekat budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa, yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah. Demikian pula budaya daerah di DIY, yang diyakini oleh masyarakat sebagai salah satu acuhan dalam hidup bermasyarakat, baik ke dalam (Intern) maupun ke luar (Extern). Secara filosofis, budaya Jawa khususnya Budaya DIY dapat digunakan sebagai sarana untuk Hamemayu Hayuning Bawana. Ini berarti bahwa Budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ayom ayem tata, titi, tentrem karta raharja. Dengan perkataan lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar. Perjuangan untuk mensejahterakan masyarakat telah diupayakan dan dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan diteruskan oleh pengganti beliau, tetap dengan semangat Hamemayu Hayuning Bawana, yang artinya Kewajiban melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud inipun mencakup seluruh peri kehidupan dalam sekala kecil, yaitu Keluarga ataupun masyarakat dan lingkungan hidupnya, dengan mengutamakan Dharma Bhakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan diri sendiri.

VISI PEMBANGUNAN DAERAH

Bertitik tolak dari kondisi dan potensi diatas, maka visi pembangunan daerah adalah sebagai berikit : Terwujudnya pembangunan Regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan Daerah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkung-an masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan Ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan.Kondisi yang secara bertahap ingin dicapai dengan ditetapkannya visi tersebut, antara lain :

a.Terbentuk citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengem-bangan sosiokultural dan sosioekonomi yang dinamis dan inovatif, berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta moral masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b.Tersedianya lapangan kerja yang memberikan penghasilan yang cukup bagi masyarakat secara adil dan merata .

c.Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang cukup baik, sehingga sumber daya manusia yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat, sehingga dapat diandalkan dalam persaingan global.

d.Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah yang bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang berkelanjutan, dengan mengembangkan kerukunan hidup antar komponen masyarakat, baik antara agama, suku dan budaya .

e.Terciptanya masyarakat yang menghormati dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala aspek kehidupan .

f.Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, effisien dan transparan didalam suasana kehidupan yang aman dan tentram dalam kerangka otonomi daerah.

MISI PEMBANGUNAN DAERAH

Berdasarkan visi pembangunan serta kondisi daerah yang diharapkan akan terbentuk secara bertahap tersebut diatas, maka ditetapkan misi pembangunan daerah, sebagai berikut :

a.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Pendidikan Terkemuka di Indonesia yang didukung oleh masyarakat yang berilmu pe-ngetahuan dan teknologi (IPTEK) tinggi .

b.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan Terkemuka di Indonesia dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pusat Budaya, dan bertaqwa (IMTAQ), serta mampu memilih dan me-nyerap Budaya Modern yang positif dan tetap melestarikan Budaya Daerah .

c.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom yang maju dan didukung oleh aparatur yang terpercaya, professional, transparan dan akuntabel, menuju penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, demokratis dan berlandaskan pada supremasi hukum dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia .

d.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pembangunan yang terpadu, komplementatif dan sinergi antar Wilayah dan antar sektor yang efisien dan efektif serta didukung pelibatan secara langsung dan aktif peran masyarakat dalam pembangunan daerah, melalui ketahanan social budaya dan ketahanan sumberdaya, yang berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

e.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE (Meeting Incentive, Conference and exibition) utama di Indonesia dan sekaligus mengembalikan posisi DIY sebagai Daerah Tujuan Wisata kedua setelah Bali, yang didukung posisi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai simpul strategis dan penting dalam perhubungan dan komunikasi di Pulau Jawa .

f.Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Wilayah pengembangan Industri sedang dan kecil non polutan serta industri rumah tangga modern yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan sepadan seni daerah dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata daerah dan permintaan pasar global.

Menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas (Pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang didukung oleh berkembangnya perekonomian rakyat yang berkualitas dalam rangka memenuhi tuntutan pasar local, regional dan global dengan produk Agrobisnis dan Agroindustri yang kompetitif.

di copy dari:
http://bapeda.jogjaprov.go.id

Jenis Baru Sejarah Bukti: Foto

CAMBRIDGE, MA.-Sebuah pameran di Harvard's Fogg Art Museum akan menyajikan gambar dari koleksi foto, negatif, dan terkait dengan materi yang dikumpulkan selama empat dekade oleh kurator di University's Carpenter Center for Visual Arts. Gambar mencerminkan penggunaan berbagai medium, termasuk film dokumenter sosial, bahasa, dan seni fotografi. Jenis Baru Sejarah Bukti: Foto-foto dari Pusat Carpenter Koleksi, akan menampilkan 70 foto dan sesuatu yg tdk kekal dipilih dari 28.000-benda koleksi, yang ditempatkan pada deposito permanen di Fogg pada tahun 2002. Judul pameran berasal dari Buletin Alumni Harvard 1967 artikel yang melaporkan pembentukan Pusat Carpenter fotografi pengumpulan dan menggembar-gemborkan sebagai "jenis baru bukti sejarah." Pengumpulan fotografi berisi beberapa gambar paling terkenal dan merupakan sumber daya yang sangat berharga untuk sarjana dan peneliti. Di antara foto-foto di layar akan menjadi klasik Edward Weston Nude (1936), dari Fine Art Fotografer Koleksi; Frances komparatif Benjamin Johnston foto (c. 1899) dari orang miskin runtuh dan rapi gubuk berlantai dua rumah seorang lulusan Hampton Institute di Virginia, sekali ditampilkan di Museum Sosial untuk menunjukkan manfaat pendidikan; Harry studio 1949 Hanas potret anak laki-laki dalam pakaian koboi, Untitled (Lockhart, Texas), dari Fotografer Profesional Amerika Koleksi dan Paulus Rowell's ER Warren , Motorman - 1907 potret seorang muda, pria berkumis berkancing ganda penuh mantel panjang dan konduktor topi, dari Boston Transit Koleksi. Pusat Tukang Kayu Koleksi Foto didirikan oleh Universitas Harvard pada pertengahan 1960-an sebagai sumber daya untuk mengajar sejarah estetika fotografi dan praktek. Sejarah Pusat Tukang Kayu Koleksi - Meskipun foto-foto yang telah dikumpulkan di Harvard sejak hari-hari awal medium, kepentingan khusus mereka tidak diakui sampai pertengahan 1960-an, ketika sejarah fotografi menjadi disiplin yang berdiri sendiri. University menciptakan sebuah repositori di Carpenter Center untuk mengkonsolidasikan kepemilikan sejarah penting foto, dan koleksi dimulai dengan pengalihan cetak abad ke-19 milik Perpustakaan Departemen Geologi.
di copy dari:
http://artknowledgenews.com/id/node/580

Foto Bisa Jadi Sumber Inspirasi

Laporan oleh: Ratih Anbarini

[Unpad.ac.id, 18/11] Rata-rata masyarakat Indonesia lebih mudah mencerna sesuatu dalam bentuk gambar dibanding tulisan. Belum membudayanya kegemaran membaca menjadi salah satu penyebab mengapa foto atau gambar lebih disukai masyarakat Indonesia. Fotografi dianggap sebagai jawaban dalam membantu masyarakat memahami sesuatu karena foto atau gambar sesungguhnya mampu berbicara.
Galih Sedayu ketika memaparkan materi tentang fotografi (Foto: Tedi Yusup)

Galih Sedayu ketika memaparkan materi tentang fotografi (Foto: Tedi Yusup)

Hal tersebut disampaikan pegiat foto, Galih Sedayu, yang juga pengelola Air Photography Communication saat menjadi pembicara dalam “Photo Speak: Fotografi sebagai Fungsi Komunikasi” di Grha Sanusi Hardjadinata, Rabu (18/11). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara memperingati Dies Natalis ke-52 Unpad dalam Pekan Ilmiah Unpad 2009.

Menurut Galih, foto berfungsi sebagai pencitraan visual, di mana foto mampu merekam kembali realitas yang ada. Foto juga dianggap sebagai sumber inspirasi bagi masyarakat. Galih mencontohkan saat foto karya Joe Rosenthal pada 1945 tentang pengibaran bendera Amerika Serikat di Gunung Suribachi, Iwo Jima, Jepang menginspirasi sutradara Clint Eastwood berjudul Flag of Our Father. “Film itu membuktikan bahwa foto yang dihasilkan fotografer dapat menjadi sumber inspirasi bagi sutradara dalam menghasilkan sebuah karya,” ujar Galih.

Selain itu, ia menyebut bahwa foto juga berfungsi sebagai arsip peristiwa atau perekam sejarah. “Di Indonesia, kantor berita pertama IIPHOS yang didirikan oleh Mendur bersaudara mengabadikan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti proklamasi. Foto-fotonya masih ada hingga saat ini dan menjadi arsip sejarah bangsa kita di masa lampau,” katanya.

Dalam paparannya, Galih juga menjelaskan mengenai sejarah foto pertama di dunia yang dihasilkan Joseph-Nicephone Niepce melalui alat bernama heligraf pada 1839. Ia juga menjelaskan tentang awal mula masuknya foto di Indonesia yang diperkenalkan oleh dua warga Inggris dan menjadi tonggak sejarah pendokumentasian di Indonesia. Saat itu, foto-foto yang dihasilkan masih bewarna hitam putih.

Dijelaskan Galih bahwa seiring waktu, foto tidak lagi berfungsi sebagai media visual semata, melainkan telah berfungsi sebagai media informasi, pesan, dan harapan. Melalui foto, kata Galih, masyarakat dapat menangkap makna yang terkandung di dalamnya. “Saya pernah punya pengalaman, ketika memotret kawasan cekungan Bandung yang kondisi sudah cukup memprihatinkan. Foto tersebut dipajang dalam pameran dan disaksikan oleh pejabat pemerintah. Setelah melihat foto tersebut, kawasan itu pun akhirnya dipagari,” ungkap Galih.

Galih menilai bahwa memproduksi foto yang menarik harus dilandaskan pada tiga hal penting. Pertama, foto harus sesuai dengan tema. Kedua, ide menarik dan berbeda, dan ketiga, melakukan eksekusi akhir. Ia juga menyarankan agar sebelum memotret sebaiknya sang fotografer memahami latar belakang objek yang akan diambilnya. “Misalnya, kita ingin memotret kehidupan kampung naga. Lebih baik kita membaca literatur tentang kampung naga, sehingga kita mengetahui latar belakangnya dan lebih mudah mencari sisi menarik,” saran Galih.

Lomba Foto
Selain seminar, dalam kegiatan itu diumumkan pula pemenang Lomba Foto KKNM 2009. Foto berjudul “Sekolahku Malang, Tempatku Menuntut Ilmu” karya Ice Kusumaningrum menjadi Juara I yang mendapat hadiah sebesar Rp 1.000.000. Sementar Juara II diraih oleh Oginawa Ramadhan dengan karyanya berjudul “Along The Way”. Foto berjudul “Ramai-Ramai Menggosok Gigi” karya Ihsan Raharjo meraih tempat ketiga. Ketiganya merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi.

Sementara juara favorit diraih Polimobin Andalas dari Fakultas Geologi dengan karyanya berjudul “Perjuangan Menuju Sekolah”. Penyerahan hadiah kepada para pemenang dilakukan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unpad, Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A., Ph.D. (eh)*

Sebelumnya

* Faisal Basri, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Terseok” - 18 November 2009
* Mahasiswa Peternakan Berwirausaha Jual Hewan Kurban - 18 November 2009
* Risiko Osteoporosis Dapat Terjadi pada Siapa Saja - 17 November 2009
* Mahasiswa FH Gali Pengalaman Alumni di Next Generation - 17 November 2009
* IKK Baru Perlu Lebih Gencar Disosialisasikan - 17 November 2009


Sesudahnya

* Unpad Berharap pada Pesilat Putri - 31 Desember 2009
* Sofani Rahmalianti, Pulang dari SEA Games Langsung Tampil di Kejurnas - 31 Desember 2009
* Hari Kedua, Kejurnas Pencak Silat Makin Seru - 30 Desember 2009
* Galeri Foto: Darso The Phenomenon - 30 Desember 2009
* Darso Ingin Pemerintah Buatkan Patung Mang Koko - 30 Desember 2009

sumber di copy dari
http://www.unpad.ac.id/berita/foto-bisa-jadi-sumber-inspirasi/

Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.

Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.

di copy dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi

Kyai Haji Abdurrahman Wahid


Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun[1]) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[2]

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[5]

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.[7]
Pendidikan di luar negeri

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[8]

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [9].

Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan [10].

Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya.[11] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[11] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[12] Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13] Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) [14], organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya [15]. Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.

info lengkap silahkan kunjungi:
http://id.wikipedia.org

dicopy dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Abdurrahman_Wahid_youth.jpg

Franciscus Xaverius Seda

Franciscus Xaverius Seda (lahir di Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926 – meninggal di Jakarta, 31 Desember 2009 pada umur 83 tahun) adalah seorang politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha Indonesia.

Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya antara lain adalah Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan Menteri Keuangan (1966-1968) sewaktu awal Orde Baru, serta Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973) dalam Kabinet Pembangunan I.
di copy dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Frans_Seda

TEMPO Interaktif, Jakarta - Frans Seda tutup usia. Mantan menteri di Jaman Orde Lama ini tutup usia di rumahnya Jalan Metro Kencana V Pondok Indah pad


TEMPO Interaktif, Jakarta - Frans Seda tutup usia. Mantan menteri di Jaman Orde Lama ini tutup usia di rumahnya Jalan Metro Kencana V Pondok Indah pada pukul 05.00.

Frans meninggalkan seorang istri dan dua orang putri. Saat ini jenazah sedang dimandikan dan rencananya akan dilakukan prosesi Misa pukul 06.00 sore.

Rencananya, jenazah akan dikebumikan Sabtu, lusa, di Pemakaman Santiago Hill, Karawang, Jawa Barat.

Trowulan

Senin, 28 Desember 2009

SEBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Timur mungkin bisa bicara tentang kita.

Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Di area seluas 63 x 63 meter persegi itu, di bawah atap rendah, berderet petak galian, semuanya cuma sekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi seakan-akan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana: bekas-bekas rumah, pola lantai halaman, gerabah yang halus, tangga, lorong parit, gobang, ribuan artefak….

Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual keagamaan. Arkeolog Mundardjito, guru besar dari UI yang telah bertahun-tahun bekerja dalam ekskavasi besar ini, menunjukkan betapa pentingnya yang ditemukan di sana: sebelum Trowulan, para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota.

Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berhasil. Inilah sebuah pintu baru ke masa silam!

Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya tentang itu) tertular oleh semangat itu dan pergi ke Trowulan—mengikuti Mundardjito berjalan dari situs ke situs, menggali, menelaah, membuat hipotesis. ”Kalau di lapangan, umur saya bukan 73, tapi 37,” katanya, setengah bergurau.

Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja besar ini, yang sebenarnya dimulai pada 1924, ketika Bupati Mojokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama Arsitek Henry MacLaine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM). Mundardjito bersama para arkeolog yang lebih muda adalah penerus ikhtiar OVM—mungkin dengan gairah dan rasa ingin tahu yang berbeda.

Masa lalu memang sederet panjang tanda tanya. Di wilayah sekitar 100 kilometer persegi, di mana lapangan ekskavasi tadi terletak, sejarah Majapahit terpendam. Tapi kenapa terpendam? Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak bersisa, sedangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan Islam di Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapahit, yang kurang-lebih seumur Cambridge University di Inggris, kini hanya bekas yang terserak dan tersembunyi?

Mungkin perang telah merusak semuanya, hingga kota itu ditinggalkan dan pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan bahan-bahan yang membentuknya. Mungkin gempa atau wabah. Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak mampu bertahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya ”sirna ilang”) menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya tak ada kekayaan sosial—dalam bentuk harta dan pemikiran—yang secara kontinu bisa merawat, merenovasi, dan merekonstruksi diri.

Bila sebuah catatan dari Cina abad ke-15 menggambarkan Majapahit, yang dicatatnya adalah istana: bersih dan terawat, dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter. Dalam kompleks istana, bangunan bertiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter. Atap bangunan terbuat dari sirap. Atap rumah rakyat dari ijuk atau jerami.

Itu semua memang bahan yang tak tahan lama, tapi akan bisa diperbaharui terus-menerus seandainya kekuasaan dan struktur masyarakatnya punya basis ekonomi yang luas, bila mereka tak cuma tergantung kepada satu poros.

Tapi mungkin Majapahit benar-benar cuma tergantung kepada satu poros. Mungkin Majapahit satu contoh yang disebut Marx sebagai ”despotisme timur”: sang baginda punya kuasa yang absolut; ia tak mengizinkan kekuatan sosial-ekonomi di luar dirinya. Dalam despotisme ini, tak boleh ada satu lapisan elite yang kurang-lebih mandiri.

Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, adalah sebuah kerajaan yang dahsyat. Sultan yang perkasa ini—yang dengan kekuatan militernya mengalahkan sebuah armada Portugis dan menaklukkan pelbagai kerajaan di Semenanjung—memegang dengan ketat monopoli perdagangan. Dengan itu ia buat ”orang kaya”, satu lapisan elite yang sedang tumbuh, tergantung kepada belas kasihnya.

Di Mataram abad ke-17, Amangkurat I bertindak mirip: ia menampik saran seorang tamu Belanda agar baginda membuat rakyatnya kaya. Jika mereka berharta, kata raja Mataram yang bengis itu, ”mereka bisa melawanku”.

Tapi dengan demikian kekuasaan para sultan seakan-akan berdiri di atas pedestal yang tinggi tapi sendiri. Ketika takhta guncang, ketika para raja kehabisan sumber kekayaan dan gagasan, tak ada penyangga sosial lain. Tak ada kelompok masyarakat yang mandiri seperti halnya kaum burger dalam sejarah kota-kota Eropa. Dari kalangan ini—yang kemudian disebut bourgeoisie—lahir kekuatan yang memperkukuh kota.

Tak aneh bila di Eropa, kota dilambangkan sebagai ”tembok”. Kata tuin dalam bahasa Belanda lama juga berarti pagar. Tapi saya tak tahu tepatkah kiasan itu berlaku untuk ibu kota Majapahit. Kitab Negarakartagama yang ditulis di masa itu hanya menyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi tembok. Tapi tak jelas, adakah dengan demikian kota pun lahir sebagai sebuah wilayah yang merdeka. Atau ia hanya sebuah tempat ”di mana kita tak usah berjalan melalui sawah”. Artinya tak ada batas yang tegas antara ”kota” dan ”di luarnya”.

Jangan-jangan itulah yang terjadi—yang secara tak sadar berlanjut hingga kini: orang berpindah dari luar ke dalam kota tanpa membuat hidupnya berubah. Perilaku dan nilai-nilai ”udik” merembes ke kehidupan urban—dan begitu juga sebaliknya. Yang ”udik” menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni harus dijaga dan orang saling menunggu. Sebaliknya yang ”udik” membuat hidup lebih santai dan bisa berbagi. Walhasil, harmoni bisa memperkuat sebuah kota, tapi juga bisa memperlemahnya.

Itukah barangkali riwayat kota yang hilang di Trowulan itu: dirawat tumbuh dengan harmoni + serasi, dan tak siap untuk hidup tanpa harmoni + tak serasi?

Goenawan Mohamad
dari: http://tempointeraktif.com/hg/caping//2009/12/28/mbm.20091228.CTP132340.id.html