Minggu, 29 November 2009

Tim Sembilan Datangi Rumah Amien Rais


VIVAnews - Tim Sembilan yang terdiri para penggagas Hak Angket Century, sore ini mendatangi kediaman Amien Rais di Gandaria, Jakarta Selatan. Tim 9 ingin meminta masukan sekaligus dukungan dari tokoh nasioanal tersebut.

Minggu 29 November 2009 sore, kediaman Amien Rais dipenuhi wartawan, dan anggota Tim Sembilan pun sudah mulai berdatangan. Ahmad Muzani, inisiator angket dari Fraksi Gerindra, dan Bambang Soesatyo, inisiator asal Fraksi Golkar, tampak telah memasuki rumah Amien.

Selain bertemu Amien, Tim Sembilan juga berencana untuk menemui mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, dan mantan wapres Jusuf Kalla, Senin besok, 1 Desember.

Selanjutnya, hari Selasa tanggal 2 Desember, Tim Sembilan akan bertemu dengan Akbar Tandjung. Terakhir, hari Rabu tanggal 3 Desember, mereka akan lanjut bertemu dengan Aburizal Bakrie dan Wiranto. Roadshow Tim Sembilan ini guna menggalang dukungan atas angket Century yang hendak disahkan di Rapat Paripurna DPR, 1 Desember, esok hari.

Sebelum mendatangi kediaman Amien, Tim Sembilan menegaskan komitmen mereka untuk mengusut tuntas skandal Century, dengan menandatangani pakta bersama.

Tim Sembilan terdiri dari perwakilan lintas fraksi kecuali Demokrat. Demokrat tidak dianggap sebagai penggagas angket, karena mereka baru menandatangani dukungan angket pada saat-saat terakhir, usai BPK menyerahkan hasil audit investigasinya ke DPR.


di copy dari:
http://politik.vivanews.com

Minggu, 29 November 2009, 16:05 WIB
Ita Lismawati F. Malau, Anggi Kusumadewi

Skandal Bank Century "Boediono dan Sri Mulyani Sebaiknya Mundur"


VIVAnews - Tokoh nasional Amien Rais menghimbau kepada Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar mundur sementara dari jabatannya. Ini agar mempermudah proses penyelesaian kasus Bank Century.

"Kedua tokoh itu sebaiknya non aktif saja," kata Amien di rumahnya, Komplek Perumahan Taman Gandaria, Jakarta Selatan, Minggu 29 November 2009.

Boediono dan Sri Mulyani kerap disinggung keterkaitannya dalam kasus Bank Century. Boediono waktu itu menjabat Gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan. Jika keduanya mundur sementara, itu akan mempermudah pengusutan dan penyelesaian masalah Bank Century.

Menurut Amien, kasus ini telah membuat kedua tokoh itu tidak dipercaya masyarakat. "Lebih enak, Pak Boediono dan Sri Mulyani jangan sampai menjadi beban Presiden. Sekarang orang sudah tidak percaya kepada mereka, sebaiknya mundur dulu," ujar Amien.

hadi.suprapto@vivanews.com
Minggu, 29 November 2009, 18:04 WIB
Hadi Suprapto, Mohammad Adam
di copy dr: http://bisnis.vivanews.com

Rabu, 25 November 2009

Mobil Hitler Dihargai Rp 141 Miliar



Mobil Hitler Dihargai Rp 141 Miliar
Mobil Mercedes Benz model 770 K itu diminati seorang miliarder asal Rusia
VIVAnews - Mobil kuno model Mercedes Benz milik diktator Nazi, Adolf Hitler, kini berada di tangan seorang miliarder Rusia. Taipan yang dirahasiakan namanya tersebut rela merogoh kocek hingga US$15 juta (sekitar Rp 141 miliar) demi mendapatkan mobil biru tua Mercedes Benz model 770 K yang pernah ditunggangi Hitler.

Penyalur mobil bekas di Duesseldorf, Jerman, bernama Michael Froehlich mengisahkan bahwa seorang perantara untuk miliuner Rusia itu datang ke kantornya dan meminta Froehlich melacak mobil 770 K Mercedes Benz milik Hitler.

"Saya kaget dan merasa tercabik-cabik," kata Froehlich kepada surat kabar Jerman, Cologne Express, Senin 23 November 2009. "Bagaimanapun itu adalah mobil seorang pembunuh massal yang sangat mengerikan," lanjut Froehlich. Namun dia tetap berusaha melacak keberadaan mobil tersebut.

Setelah mencari beberapa pekan, Froehlich mengetahui kalau Mercedes asli milik Hitler pernah berada di Austria pada akhir Perang Dunia II. Mobil itu lalu ditempatkan di museum mobil klasik (Classic Car Museum) di Las Vegas, Amerika Serikat.

Mobil klasik itu akhirnya jatuh ke tangan seorang pengusaha minuman bir asal Bavaria, Jerman. Setelah pengusaha terkemuka itu meninggal pada 2008, istrinya memutuskan untuk menjual mobil Hitler.

"Rabu pekan lalu saya menerima kabar kalau mobil yang diinginkan taipan Rusia itu berada di Jerman. "Saya pastikan dulu ke aparat hukum apakah kesepakatan semacam ini ilegal atau tidak. Mereka tidak keberatan asalkan tidak ada simbol Nazi terlihat," terang Froehlich.

Dia mencocokkan plat nomor 1A 148461 dengan foto saat Hitler berada di mobil tersebut yang diperoleh Froehlich dari berbagai dokumen dan catatan mengenai Hitler.

Akhirnya, pembeli dari Rusia tiba di Jerman menggunakan jet pribadi untuk menyelesaikan kesepakatan dan membeli mobil Hitler dari pemilik sebelumnya dengan harga berkisar US$6 juta hingga US$15 juta. Mobil Hitler kini memliki tempat tinggal baru di Moskow, kota yang tidak pernah bisa dikunjungi Hitler meski pasukan Nazi berusaha mendudukinya. (AP)
• VIVAnews
dicopy dari: http://vivanews.com/
Rabu, 25 November 2009, 17:37 WIB
penulis Renne R.A Kawilarang, Harriska Farida Adiati

Selasa, 24 November 2009

Mahfud: Ada Distrust Masyarakat Mengarah ke Presiden



[Mahfud: Ada Distrust Masyarakat Mengarah ke Presiden] Mahfud: Ada Distrust Masyarakat Mengarah ke Presiden

7 Pimpinan lembaga tinggi negara berkumpul membahas reformasi penegakan hukum di tengah konflik KPK-Polri. Ketujuh pemimpin tersebut menilai ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap simbol negara yang mengarah kepada Presiden SBY.

"Sampai saat ini terjadi distrust yang luar biasa antara lembaga penegak hukum . Ketidakpercayaan ini mengarah kepada simbol-simbol negara. Bisa mengarah ke presiden kita karena itu simbol negara kita," kata Ketua MK Mahfud MD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/11/2009).

Mahfud mengatakan, pertemuan ini dalam rangka sinergi antara lembaga negara di tengah konfrontasi perselingkuhan suatu lembaga yang bermain dengan lembaga lain.

"Seperti yang selama ini terjadi. Fokus kita adalah reformasi penegakan hukum," jelasnya.

Menurut Mahfud, pihaknya yakin kalau SBY akan mengumumkan sikap yang terbaik untuk bangsa dan negara. Ketujuh pemimpin lembaga tinggi negara ini pun berharap untuk jangka panjang ada langkah-langkah sistematis untuk reformasi penegakan hukum.

"Kita sepakat kita tidak boleh tersandera dengan kejadian sekarang. Sebulan lebih kita tak bisa melakukan tugas penting. Kita harus bersinergi agar tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang," pintanya.

dikutip dari:
http://id.news.yahoo.com/dtik/20091123/tpl-mahfud-ada-distrust-masyarakat-menga-b28636a.html
detikcom - Selasa, 24 November

Sabtu, 21 November 2009


Bandung - Sejarah TNI Angkatan Udara (TNI AU) akan diangkat menjadi sebuah game. Game ini akan dikembangkan oleh Regional IT Centre of Excellence (RICE), PT INTI.

RICE saat ini tengah mencari investor untuk proyek pembuatan game yang menceritakan cikal bakal Angkatan Udara RI tersebut. Dana sebesar Rp 200 juta dibutuhkan untuk membuat game yang rencananya akan ada 2 skenario dengan beberapa level.

Proyek yang diberi nama Cureng 47 ini sengaja mengambil nama yang memang menjadi sejarah bagi TNI AU. Pesawat Cureng adalah pesawat peninggalan Jepang yang dipergunakan untuk melakukan pengemboman daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Peristiwa ini kemudian dijadikan sebagai cikal bakal TNI AU.

"Ini kenapa game tersebut diberi nama Cureng 47. Cureng sendiri dari jenis pesawat dan 47 dari tahun kejadiannya 1947. Game ini mengambil cerita cikal bakal TNI AU RI," tutur Manager Regional IT Centre of Excellence (RICE) PT INTI, Gerhard Simanjuntak, saat ngobrol santai dengan detikINET, Jumat (20/11/2009) malam.

Game yang rencananya akan dibuat secara bertahap ini, ada 2 skenario. Pemain akan diberikan pilihan untuk menyelesaikan game melalui skenario yang sesuai dengan cerita sejarah.

"Ini semuanya berdasarkan riset yang dilakukan oleh anak-anak(game development binaan RICE - red)," katanya.

Ditambahkan pula Gerhard, proyek ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dalam proposalnya, dibutuhkan kurang lebih Rp 200 juta untuk lama waktu pengerjaan selama 3 bulan.

"Detilnya mereka (game development binaan RICE - red) yang tahu. Tapi yang jelas mereka butuh biaya untuk riset dan biaya sehari-hari mereka selama proses pengerjaan," kata pria berkacamata ini.


( afz / wsh )

di copy dari:
Andrian Fauzi - detikinet
http://www.detikinet.com
Minggu, 22/11/2009 08:20 WIB

Jumat, 20 November 2009

Gigi & Jari Galileo Galilei Ditemukan

Roma - Kolektor benda seni menemukan satu gigi, jempol dan jari ilmuwan Italia Galileo Galilei. Bagian tubuh ini dipotong dari jenazah Galileo saat pemakaman.

Penemuan gigi, jempol dan jari itu diumumkan Museum Sains dan Sejarah Florence seperti yang dilansir dari Reuters, Sabtu (21/11/2009).

Bagian tubuh Galileo, bersama dengan jari lain dan sebuah tulang belakang, dipotong dari jenazah Galileo saat upacara pemakaman pada 95 tahun setelah kematiannya pada 1642 oleh beberapa ilmuwan dan sejarahwan.

Adalah seorang ilmuwan sejarah Giovanni Targioni Tozzetti yang memotong bagian itu dan menulis tentang upacara pemakaman mengakui susah melawan godaan untuk tidak membawa tengkorak Galileo yang super jenius itu.

Relik gigi dan jari itu telah berpindah-pindah dari satu kolektor ke kolektor lain sampai hilang jejaknya pada tahun 1905. Sementara sisa-sisa jari dan tulang belakang lainnya telah diawetkan sejak 1737 dalam mumifikasi di Florence dan Padua.

Jari-jari dan gigi itu dibeli seorang kolektor yang tak diketahui namanya saat pelelangan yang diadakan baru-baru ini. Relik Galileo itu terjual sebagai artefak yang tak terindentifikasi dalam peti abad ke 17.

"Semua materi organik diambil dari jenazah (Galileo) dan sekarang telah diidentifikasi dan dikonservasi di tangan yang bertanggung jawab. Dalam dokumentasi sejarah, tidak ada keraguan lagi tentang keaslian benda itu," imbuh museum Sains dan Sejarah Florence itu.

Dan relik itu akan dipamerkan pada awal 2010, di mana museum akan dibuka kembali setelah renovasi dan diganti namanya menjadi Museum Galileo.

Galileo, lahir di Pisa, Italia pada tahun 1564 dianggap bapak ilmu pengetahuan modern karena penelitiannya di bidang fisika, matematika, astronomi hingga penemuan terbesarnya, teleskop.

Selama 95 tahun setelah kematiannya, pada 1642 Galileo ditolak otoritas Gereja untuk dimakamkan di Basilika Santa Croce karena pemikirannya bertentangan dengan gereja. Pada tahun 1737 tulang belulangnya dimakamkan ulang di Gereja Santa Croce Florence, di depan makam pelukis Michelangelo.

(nwk/nwk)
di copy dari:
http://www.detiknews.com
Sabtu, 21/11/2009 05:45 WIB

Hobbit Flores, Spesies Baru Hominin

TEMPO Interaktif, Jakarta - Debat tentang fosil Manusia Flores, Homo floresiensis, sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para koleganya.

Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly, --penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Baru-baru ini, para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook, New York, Amerika Serikat, mengumumkan hasil penelitiannya terhadap fosil Homo florensiensis yang cenderung mendukung pendapat pertama dan menyimpulkan bahwa fosil itu merupakan spesies manusia kuno baru, atau hobbit, dan kelainan mereka bukan disebabkan oleh suatu penyakit sehingga ukuran tubuhnya menjadi mini.

Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens yang kini mendiami bumi.

Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember mendatang.

Fosil Homo florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil.

Para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama penelitian 'Little Lady of Flores' atau 'Flo', menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.

Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina.

Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis,” ujar Jungers, “spesies ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada waktu itu.”

Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh. “Anatomi Homo floresiensis jauh lebih unik daripada anatomi manusia yang terkena penyakit seperti microcephaly dan sindroma kekerdilan,” tegas Dr. Baab.

Debat apakah Homo floresiensis merupakan jenis manusia modern yang menderita penyakit kelainan atau salah satu varian hobbit, tampaknya masih belum akan final. Namun jika Anda ingin mengenal sosoknya, Anda bisa mengunjungi Museum Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, yang membuat dan memajang patung sosok Hobbit Flores ini didepan museum.

SCIENCEDAILY l WAHYUANA

di copy dari:
http://tempointeraktif.com
Jum'at, 20 November 2009 | 13:51 WIB

Rabu, 18 November 2009

Kontingen Garuda (Konga)


Kontingen Garuda (Konga) dalam misi perdamaian PBB di Lebanon Selatan (UNIFIL) saat acara pelepasan di Mabes TNI, Jakarta, Kamis (19/11). TNI memberangkatkan 1.125 personel. TEMPO/Subekti

Italia Kritik Pengusiran Aktivis Greenpeace dan Jurnalis di Riau

TEMPO Interaktif, Milan - Italia mengkritik pengusiran aktivis Greenpeace asal Italia dan seorang jurnalis asal Italia dari Indonesia. Aktivis Greenpeace asal Italia diusir karena berunjuk rasa menolak pembalakan hutan di Semenanjung Kampar, Riau, sedangkan wartawan asal Italia diusir dengan alasan belum melengkapi syarat peliputan.

Pemerintah Indonesia pekan lalu mengumumkan akan mendeportasi beberapa aktivis Greenpeace dari luar Indonesia karena ikut berdemonstrasi di Kampar. Unjuk rasa tersebut digelar untuk menarik perhatian dunia internasional terkait kerusakan hutan di Indonesia menjelang sebuah konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Denmark yang membahas soal iklim.

Menurut AP, Kementerian Luar Negeri Italia secara resmi mengirim surat berisi keluhan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma, Rabu (18/11). Dalam surat tersebut, Italia meminta hak-hak wartawan L'Espresso Raimondo Bultrini dan aktivis Greenpeace Chiara Campione dilindungi.

Greenpeace sebelumnya mengkritik respons pemerintah Italia terkait pengusiran dua warga Italia tersebut.

Greenpeace mulai berunjuk rasa di area lahan Gambut Pelalawan, Riau, Kamis lalu. Namun, unjuk rasa tersebut berakhir ricuh. Polisi pun menangkap 33 aktivis Greenpeace, salah satunya Chiara Campione dari Italia.

Selain itu, polisi menangkap dua jurnalis asing yang hendak menuju Kamp Pembela Iklim Greenpeace di Semenanjung Kampar, Riau. Mereka adalah Raimondo Bultrini dari L'Espresso, Italia, dan Kumkum Dasgupta dari Hidustan Times, India. Kepala Kepolisian Resor Pelalawan Ajun Komisaris Ary Rachman mengatakan kedua jurnalis itu belum melengkapi sejumlah syarat melakukan peliputan seperti surat dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Markas Besar Polri, dan lainnya.

dicopy dari:
http://www.tempointeraktif.com
Kamis, 19 November 2009 | 07:33 WIB

THE AGE| KODRAT SETIAWAN

Presiden: Jangan Paksa Saya Ambil Langkah di Luar Kewenangan


TEMPO Interaktif, Jakarta - Hari ini, presiden memanggil sejumlah menteri beserta Kapolri dan Jaksa Agung untuk membahas rekomendasi Tim Independen Pencari Fakta dan Verifikasi kasus Bibit dan Chandra (tim delapan). Presiden menyatakan pemerintah memang harus bertindak cepat dan tepat menyikapi kasus tersebut.

presiden"Ini tidak perlu harus didorong oleh siapapun, agar kemelut ini tidak terus berkepanjangan," katanya saat memberikan paparan sebelum rapat terbatas dimulai di Kantor Presiden, Rabu (18/11).

Akan tetapi, diingatkannya langkah pemerintah dan tindakan presiden harus tetap berlandaskan konstitusi, undang-undang dan ketentuan hukum serta sistem yang berlaku. Menyikapi masalah yang serius seperti kasus tersebut, kata presiden, harus hati-hati. Jangan sampai memecahkan masalah menimbulkan masalah baru.

"Jangan sampai pula saya sebagai presiden didorong dan dipaksa untuk mengambil langkah yang bukan kewenangan saya. Kalau begitu berarti saya melawan Undang-Undang," katanya.

Presiden juga menyatakan rekomendasi tim delapan belum tentu diterima atau ditolaknya. "Rapat sekarang ini bukan untuk tetapkan apakah kita terima atau tidak menerima rekomendasi tim 8 itu, bukan itu," katanya.

Menurutnya, Ia beserta jajaran terkait perlu untuk mendalami dan mempelajari denean seksama. "Jangan buru-buru katakan tidak menerima atau jangan buru-buru bahwa semua rekomendasi itu sudah diterima. mari kita telaah dengan jernih," katanya. Semua harus disikapi dengan sikap positif. "Tidak perlu kita apriori terhadap apa yang dilakukan tim 8 ".

Masalah itu, kata dia, memang tidak boleh berlama-lama tetapi koridornya harus jelas. Persoalan tersebut, kata presiden, merupakan bagian dari sejarah yang panjang dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat kelak di kemudian hari. "Jadi tidak boleh kita serampangan atau gegabah saja," katanya.

Setelah semuanya didalami, rekomendasi tersebut tetap akan diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan agung untuk ditindaklanjuti. Setelah itu, baru presiden akan mengambil respon menyikapi kasus tersebut. "Kita memang harus memilih opsi terbaik dan dalam memilih opsi itu saya minta untuk tetap jernih, kita harus utamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan yang lain, bukan kepentingan yang sempit atau pun jangan melihat dari sisi satu saja," katanya.

GUNANTO E S

dicopy dari:
http://tempointeraktif.com
Rabu, 18 November 2009 | 15:55 WIB

Ini Dia Penanggalan Maya yang Jadi Biang Kerok Isu Kiamat 2012


TEMPO Interaktif, Jakarta - Film "2012" memancing kontroversi di Indonesia karena memunculkan bencana besar. Bencana itu disebut-sebut terkait dengan berakhirnya penanggalan panjang suku Maya.

Penanggalan Maya memang agak aneh dibanding kalendar yang dipakai di dunia maupun kalendar Indonesia, misalnya. Biasanya perhitungan hanya sepanjang satu tahun.

Maya, suku Indian Amerika Latin, memiliki tiga sistem kalendar yang dipakai bersamaan. Di satu kalendar, satu tahun memiliki panjang 265 hari, satu lagi 260 hari, dan satu lagi--disebut perhitungan panjang--akan berakhir pada 2012 itu.

Penanggalan perhitungan panjang itu memiliki unit:

1 hari = kin
20 kin = uinal
18 uinal = tun
20 tun = katun
20 katun = baktun
Lingkaran panjang=13 baktun

Bandingkan dengan penanggalan masehi yang lazim digunakan dunia saat ini yakni:

30/31 hari = bulan (kecuali Februari yang 28/29 hari)
12 bulan = tahun

Dengan perhitungan panjang itu, satu baktun memiliki panjang 144.000 hari atau sekitar 400 tahun. Saat ini penanggalan masuk baktun ke-13.

Dengan tanggal Maya, hari ini Rabu (18/11) adalah

12 baktun
19 katun
16 tun
15 uinal
11 kin.

Yang menjadi persoalan, sebagian ahli menyatakan penanggalan Maya hanya sampai pada baktun ke-13. Baktun ke-13 ini akan berakhir pada tanggal 20 Desember 2012.

Pada 20 Desember 2012 itu, penangalan Maya menjadi
12 baktun
19 katun
19 tun
17 uinal
19 kin.

Sehari berikutnya akan masuk baktun ke-14 yakni

13 baktun
0 katun
0 tun
0 uinal
0 kin

Sejumlah ahli, seperti dari badan antariksa Amerika Serikat, menyatakan bahwa pada penanggalan Maya akan mulai lagi pada tanggal 1. Tidak dijelaskan apakah masuk baktun ke-12 atau mulai lagi dari titik awal seperti beberapa ribu tahun silam atau masuk ke baktun ke-14.

Suku Maya sendiri, menurut Susan Milbrath, kepala bagian seni dan arkeologi Amerika Latin di Museum Florida, tidak menyebutkan dunia bakal berakhir jika baktun ke-13 ini selesai.


HANKSVILLE.ORG/WIKIPEDIA/NURKHOIRI
http://www.tempointeraktif.com
Rabu, 18 November 2009 | 16:33 WIB

Belum Ada Tanda-tanda, People Power Masih Jauh


Jakarta - Potensi munculnya people power (gerakan kekuatan rakyat) diprediksi akan terjadi menyusul kasus kriminalisasi pimpinan KPK. Namun, pengamat intelijen Wawan Purwanto membantah hal ini. Menurutnya, kemungkinan terjadinya people power masih jauh.

"People power masih jauh kalau dalam artian kerusuhan karena belum ada afiliasi oknum-oknum yang memiliki kekuatan bersenjata," ujar Pengamat Intelijen Wawan Purwanto dalam jumpa pers di Restoran Sate Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (18/11/2009).

Wawan kemudian membandingkan people power yang terjadi pada tahun 1998 lalu. Menurutnya, saat itu ada oknum bersenjata yang memback-up (mendukung), ada unsur pembiaran, ada upaya menarik massa dari luar masuk ke Jakarta. Sedangkan, kata dia, tahun ini belum ada arah ke sana, negeri kita masih aman.

"Meskipun ada upaya people power, tapi itu dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Belum ada tanda-tanda arah ke sana, semua masih undercontrol," tutur dia.

Dikatakan Wawan, tanda-tanda tersebut bisa jadi ada pada dua kepemimpinan di tubuh militer. Namun, sampai saat ini Wawan beranggapan militer masih solid sehingga tanda-tanda ke arah sana masih jauh.

"TNI-Polri belum ada dualisme, belum ada kepentingan yang berseberangan," kata dia.

di copy dari: Didi Syafirdi - detikNews
Rabu, 18/11/2009 18:08 WIB

Senin, 16 November 2009

Televisi, Bikin Hidup Lebih Redup

TEMPO Interaktif, Letty hampir tidak pernah ketinggalan menonton reality show di televisi. Dia mengikutinya dari acara Cinta Lokasi, Cinta Lama Bersemi Kembali, hingga Termehek-mehek.

Sebenarnya Letty sadar reality show yang lagi marak itu adalah dagelan. Namun, siswi kelas II sekolah menengah pertama di Sukabumi ini merasa tidak punya pilihan acara hiburan lain bagi anak seusianya. "Sambil ngemil tambah seru," ujar gadis 14 tahun ini.

Eksistensi kotak ajaib itu memang menjadi bagian kehidupan anak dan remaja. Namun, orang tua seharusnya waspada. Dari temu ilmiah Persatuan Ahli Gizi (Persagi) di Surabaya, Jumat-Minggu lalu, studi tiga ahli gizi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menemukan ada hubungan intensitas menonton televisi dengan status gizi remaja.

Menurut para ahli gizi (di antaranya Irianton Aritonang, Ida Rubaida, dan Idi Setiyobroto), televisi, yang keberadaannya dirayakan sedunia tiap 21 November, mempengaruhi kebiasaan makan remaja lewat iklan makanan yang tinggi gula, lemak, dan garam, serta rendah serat. Akibatnya, banyak remaja punya pola makan yang salah.

Studi menunjukkan, remaja yang menonton televisi selama dua sampai empat jam sehari, 33,3 persennya mengkonsumsi energi melebihi yang dianjurkan. Lalu 77,4 persen asupan energi lemak didapati lebih dari 25 persen dari total energi. Sebanyak 20,4 persen subyek menderita gizi lebih.

Adapun kelebihan gizi sendiri mengarah pada penyakit degeneratif dan obesitas. Studi ini melibatkan 93 siswa sekolah menengah pertama favorit di Yogyakarta. Status gizi ditetapkan berdasarkan persentil indeks massa tubuh (IMT) menurut usia pada kurva standar baku Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tak hanya itu, spesialis saraf anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Dr Dwi Putro Widodo SpA, mengatakan bahwa televisi akan sangat mempengaruhi perilaku anak yang menontonnya dengan berlama-lama. Menurut Dwi, apa yang diserap dari gambar bergerak terproses di saraf dan diterjemahkan lewat perilaku. "Semua itu ujungnya ke saraf," ujar Dwi ditemui di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi, psikolog anak dan remaja, mengatakan tayangan televisi yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangan anak adalah pembelajaran salah yang diperoleh anak. Misalnya, Fabiola mencontohkan, anak belajar cara menunjukkan rasa marah melalui kata-kata kasar seperti di televisi. "Banyak kata-kata baru yang dipelajari anak, dan mereka akan menggunakan kata-kata tersebut ketika berinteraksi dengan lingkungannya," ujar Fabi melalui sambungan telepon pekan lalu.

Selain membuat anak berperilaku buruk, menurut Fabi, televisi membuat manajemen waktu anak menjadi tidak efektif. Seperti waktu belajar, bermain kreatif, dan bersosialisasi. Hal itu, menurut dosen di Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Jakarta, ini, dapat menghambat anak untuk mengembangkan keterampilan bersosialisasi.

Dalam perspektif Fabiola, anak 0-2 tahun sebenarnya tidak dianjurkan menyaksikan televisi. Mereka lebih baik mendapatkan stimulasi lewat interaksi langsung orang tua dan lingkungannya. Beberapa studi menyimpulkan, anak 6-9 tahun, maksimal diperbolehkan menyaksikan acara televisi sekitar 60 menit. Sedangkan untuk anak 9-13 tahun, maksimal selama 90 menit.

Fabiola, pengasuh di www.curhat.net ini, menyarankan kepada orang tua untuk memberi contoh nyata pada anak, dengan tidak menjadikan televisi sebagai satu-satunya kegiatan. Orang tua bisa mendampingi anak menonton sambil mendiskusikan dengan anak akan dampak buruk dari acara televisi.




Efek Televisi

1. Anak jadi terbiasa menerima dan melakukan interaksi satu arah dari tayangan televisi sehingga anak kurang memiliki kesempatan dan kemampuan dalam menjalin interaksi sosial dua arah.
2. Waktu menjadi tidak efektif. Waktu tidur malam menjadi waktu menonton. Akibatnya, saat belajar di sekolah dari pagi hingga siang, anak mengantuk.
3. Prestasi belajar anak menurun karena kurang punya waktu untuk mengulang pelajaran, menggali potensi, dan melakukan kegiatan belajar di luar waktu sekolah.
4. Anak tidak memiliki waktu cukup menggali dan menekuni minat dan bakatnya di berbagai aspek kecerdasan. Misalnya menekuni bidang musik atau olahraga.
5. Anak akan mengalami obesitas karena kurangnya kesempatan untuk melakukan olah gerak tubuh.
6. Anak kurang mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah secara kreatif. Umumnya acara televisi memberikan semua informasi--baik benar maupun salah--dan kurang memberi kesempatan agar anak aktif menemukan sendiri solusi masalah.

Sumber: Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi | HERU TRIYONO
di copy dari:
http://tempointeraktif.com
Selasa, 17 November 2009 | 07:29 WIB

Minggu, 15 November 2009

Kasus KPK Tim 8 Janji Buka Rekomendasi ke Publik


VIVAnews - Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum akan menyerahkan rekomendasi kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rekomendasi itu juga akan dibuka ke publik.

"Saya kira setelah diserahkan kepada Presiden, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi perlu kita perhatikan juga," kata Amir Syamsuddin, salah satu anggota Tim yang juga disebut Tim 8, dalam perbincangan Kabar Pagi di TvOne, Senin 16 November 2009.

Menurut Amir, hasil rekomendasi itu akan diberikan kepada Presiden SBY yang hari ini baru tiba dari kunjungan kerja ke luar negeri. Meski demikian, Amir tidak merinci kapan rekomendasi itu akan diungkap ke publik.

Sebelumnya, menurut anggota Tim 8 lainnya, Denny Indrayana, isi laporan akhir itu terdiri dari rekomendasi beberapa hal. Diantaranya, rekomendasi perbaikan sistem di Kepolisian, kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), juga KPK.

"Rekomendasi juga akan memuat rekomendasi penyelesaian kasus Chandra-Bibit," kata Denny dalam pesan singkat kepada VIVAnews, Minggu 15 November 2009.

Selain itu, kata dia, laporan akhir juga akan memuat rekomendasi untuk memberantas mafia hukum, makelar kasus (markus).

Kedua hal ini mencuat dalam pemeriksaan Tim 8 saat klarifikasi kasus Bibit-Chandra. "Detail rekomendasi lengkap hanya akan disampaikan kepada Presiden, sesuai mandat Tim 8, kata dia.
oleh: Ismoko Widjaya
Senin, 16 November 2009, 07:44 WIB
http://korupsi.vivanews.com/news/read/105813-tim_8_janji_buka_rekomendasi_ke_publik

Insiden Kaki Gajah Pernyataan Menkes Terburu-buru, Masyarakat Tak Bisa Disalahkan


Jakarta - Masyarakat tidak boleh disalahkan dalam insiden usai pengobatan massal anti-Filariasis di Majalaya, Kabupaten Bandung. Departemen Kesehatan, selaku pelaksana, harusnya menyelidiki terlebih dahulu insiden yang telah menewaskan 8 orang itu.

Demikian disampaikan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, pada detikcom, Senin (16/11/2009).

Sebanyak delapan orang meninggal dan sedikitnya 900 orang lebih dilarikan ke rumah sakit setelah mengkonsumsi obat anti-Filariasis atau penyakit kaki gajah dalam pengobatan massal program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono di Majalaya, Kabupaten Bandung, Selasa (10/11/2009).

Seperti diberitakan, meski berjanji akan melakukan penyelidikan, namun Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sudah menyatakan korban tewas akibat koinsiden atau penyakit bersamaan yang diderita korban.

"Dia (korban) ada penyakit lain. Saya tahu penyakitnya. Masa dikasih tahu, nanti kurang enak ya," kata Endang.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tjandra Yoga Aditama menambahkan, belum ada perkembangan terbaru mengenai penyelidikan yang dilakukan pihaknya.

"Masih sama seperti yang Ibu Menkes katakan. Hasil akan diumumkan Ibu Menkes," singkat Tjandra saat dihubungi per telepon oleh detikcom.

Menurut Ade, pernyataan Menkes itu terlalu prematur. Mengingat, apa pun yang terjadi, seharusnya Depkes bertanggung jawab.

"Pengobatan kan ada prosedurnya. Masa langsung diberikan tanpa pengecekan kondisi pasien dulu. Jangan langsung menyalahkan korban, kalau menyalahkan warga 2 kali menjadi korban," kata dia.

Ade menengarai dua faktor yang berpotensi menyebabkan insiden tersebut, yakni obat dan prosedur pemberian obat (human error).

"Kalau human error harus diberi sanksi tegas. Kalau karena koinsiden, masak terjadinya masal. Saya menduga ini kesalahan prosedur," pungkas Ade.
posting oleh:
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Senin, 16/11/2009 07:40 WIB
http://vivanews.com/

Jumat, 13 November 2009

Amankan Kantor MK, GP Ansor Kirim 500 Banser Tahan Bacok


Jum'at, 13 November 2009 | 14:27 WIB

TEMPO Interaktif, Kediri - Pengurus Cabang Anshor Kota Kediri, Jawa Timur, siap mengirimkan 500 personil Barisan Anshor Serbaguna (Banser) ke Jakarta. Mereka telah dibekali ilmu kekebalan dan siap mengamankan kantor Mahkamah Konstitusi yang ditinggalkan kepolisian.

Ketua PC Anshor Kota Kediri Anwar Bahrudin mengatakan ratusan personil Banser tersebut telah menjalani rangkaian latihan bela diri di kaki Gunung Klotok. Selain ilmu silat dan memainkan senjata tajam, mereka juga dibekali ilmu kekebalan tubuh dari seorang kyai.

“Mereka siap ke Jakarta sekarang juga,” kata Anwar Bahrudin kepada Tempo, Jumat (13/11).

Anwar menjelaskan keberangkatan personil Banser ke Jakarta ini merupakan bentuk solidaritas dan dukungan kepada kader Nahdlatul Ulama Mahfud MD. sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang dianggap mampu menyelesaikan konflik Polri – KPK.

Lembaga tersebut,jelas Anwar, wajib diamankan dari segala bentuk ancaman. Terlebih lagi sejak beberapa hari terakhir kepolisian menarik diri dari kantor itu dengan alasan yang tidak jelas.

Ratusan personil Banser ini menurut Anwar sangat berpengalaman melakukan tugas-tugas tersebut. Sebelumnya mereka juga pernah melakukan pengamanan terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid dalam unjuk rasa 1998 di Jakarta.

“Kami juga baru saja melakukan latihan bersama di Blitar,” tambah Anwar.

Untuk menjaga kualitas personil, Anshor Kediri membatasi usia anggota Banser maksimal 50 tahun untuk diperbolehkan bergabung dalam tugas ini. Mereka siap ditempatkan dalam kondisi apapun dan bergabung dengan Banser daerah lain untuk menjaga keselamatan Mahfud MD.

Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri KH Imam Yahya Mahrus menyerukan kepada seluruh ulama untuk melindungi KPK. Menurut dia keberadaan lembaga itu sangat diperlukan untuk menjaga penegakkan hukum di Indonesia. “Saya setuju pendapat yang mengatakan ada upaya melemahkan KPK,” kata ulama yang juga Rektor Universitas Tribhakti Kediri.

Ulama yang akrab disapa Gus Yahya ini juga mendesak Presiden Yudhoyono segera menyelesaikan persoalan ini. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik horisontal yang muncul di masyarakat.

Sejak Rabu (11/11),sebanyak 19 kepolisian yang bertugas di kantor mahkamah konstitusi ditarik kesatuannya. Penarikan itu sempat menimbulkan rumor bahwa kepolisian marah akibat dari sidang terbuka soal rekaman pembicaraan anatara Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi polisi.

"Bukan penarikan, tetapi rotasi biasa. Kami setuju dengan kebijakan kepolisian," ujar Mahfud MD.
diposting pada:
Jum'at, 13 November 2009 | 14:27 WIB
oleh: http://tempointeraktif.com

Syafii Maarif Minta SBY Tunjukan Jiwa Kepemimpinan

Jakarta - Kritik pedas dilontarkan oleh Syafii Maarif melihat masalah dua pimpinan KPK nonaktif yang tak berujung. Mantan Ketua PP Muhamaddiyah ini meminta Presiden SBY segera menunjukan jiwa kepemimpinannya.

"Ini kesempatan baik bagi SBY untuk menunjukan kepemimpinan, jika dia punya kepemimpinan," sindir Syafii di kantor PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta, Jumat malam (13/11/2009).

Menurut Syafii, SBY seharusnya lebih percaya diri dalam menentukan sikapnya dengan dukungan rakyat. Namun yang terjadi, tambah Syafii, justru sebaliknya.

"Dia dipilih kemudian dia ditentang karena tidak ada ketegasan, jangan sampai terjadi konflik sosial," pesan Syafii.

Syafii juga miris melihat keadaan bangsa, khususnya di bidang hukum, yang begitu tercoreng. "Aparat tidak punya martabat lagi," jelasnya.

Syafii berpesan agar suara-suara rakyat yang kritis tidak ditanggapi enteng oleh penguasa. Mulai dari media yang begitu kompak menyuarakan ketidakadilan hingga dukungan lewat facebook.

"Itu tandanya hati nurani masih ada," tandasnya.
data diterbitkan oleh: http://www.detiknews.com
pada Sabtu, 14/11/2009 04:29 WIB

Kisruh KPK-Polri Syafii Maarif Setuju People Power Asal Damai Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Reaksi masyarakat terus bermunculan menanggapi persoalan yang menimpa Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif setuju jika muncul people power asal berlangsung damai.

"Asal dijalankan dengan damai, why not," kata Syafii singkat di Gedung PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta, Jumat (13/11/2009) malam.

Syafii meminta agar setiap gerakan dapat diorganisir sedemikian rupa. Ia berharap, dengan cara seperti itu, resiko terjadinya konflik dapat diminimalkan.

"Sah saja selama tidak merusak, jangan merusak. Sebab kalau nanti merusak, rusaklah negeri ini," pintanya.

Syafii juga berpesan agar tuntutan yang ingin disampaikan lebih realistis. Menurutnya, persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan hanya dengan mundurnya Kapolri dan Jaksa Agung.

"Tidak sesederhana itu," tandasnya.
data dipublikasikan pada: Sabtu, 14/11/2009 05:43 WIBoleh:
http://www.detiknews.com/read/2009/11/14/054352/1241572/10/syafii-maarif-setuju-people-power-asal-damai?991102605
diposting:
sabtu, 14/11/2009
08.30 wib

Selasa, 10 November 2009

Stop Kekerasan di Sekolah

Selasa, 10 November 2009 | 01:33 WIB

Penganiayaan yang dialami Ade Fauzan Mahfuzah, siswa kelas I SMA 82 Jakarta, amat memprihatinkan. Apalagi ia dikeroyok oleh teman-temannya sendiri di lingkungan sekolah. Sekali lagi, kejadian ini menunjukkan kelalaian institusi pendidikan dalam menjamin keamanan dan kenyamanan bagi siswa.

Mula-mula Ade dipukuli oleh tujuh siswa kelas III di sekolah yang sama saat istirahat. Seusai jam pelajaran, ia kembali dikeroyok oleh 30 kakak kelasnya. Alasan pengeroyokan ini adalah Ade melintasi koridor kelas III--mereka menyebutnya "Jalur Gaza"--yang selama ini "terlarang" bagi siswa kelas I dan II.

Akibat perbuatan brutal itu, Ade mengalami luka-luka parah. Beberapa bagian tubuhnya harus dijahit, antara lain enam di bagian mulut. Ade juga mengalami memar di tempurung kepala bagian belakang dan telinga membiru. Hingga sekarang, Ade masih dirawat di rumah sakit.

Tragedi seperti ini tidak boleh dianggap enteng. Apa yang terjadi pada Ade merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. Disebutkan dalam Pasal 54 undang-undang ini bahwa anak-anak yang berada di lingkungan sekolah harus dilindungi dari tindakan kekerasan oleh guru dan teman-temannya. Pelanggaran terhadap aturan ini diancam hukuman pidana kurungan 15 tahun.

Itu sebabnya, langkah orang tua Ade yang melaporkan kasus ini kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dan kepolisian sudah tepat. Tindakan tegas terhadap pelaku harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera. Meski demikian, sanksi pidana terhadap siswa pelaku kekerasan itu tetap harus ditetapkan secara arif sehingga masa depan mereka tidak terancam.

Adapun kepada kepala sekolah yang telah lalai, salah satunya, bisa dikenai beberapa tindakan, dari normatif hingga administratif. Sanksi administratif bisa dilakukan secara berjenjang, dari teguran hingga mutasi. Bahkan kalau perlu dipertimbangkan penundaan kenaikan pangkatnya.

Sanksi tegas perlu diberikan agar kasus serupa tak terulang. Apalagi kasus seperti ini sudah berkali-kali terjadi. Bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh siswa, tapi juga oleh guru. Data tahun 2008 bahkan menunjukkan, kekerasan guru terhadap siswa meningkat sebesar 39,6 persen dibanding sebelumnya. Untuk tahun 2009 belum diperoleh datanya. Namun, diperkirakan angkanya tak jauh berbeda.

Buat menekan angka kekerasan, pengelola sekolah harus lebih memperhatikan aspek-aspek perlindungan anak, komunikasi anak dengan sekolah, perlakuan senior terhadap junior, dan perlakuan guru terhadap siswa. Pihak sekolah pun perlu menghilangkan aneka peraturan yang menekan siswa.

Tentu saja kalangan orang tua juga tak bisa lepas dari tanggung jawab untuk menciptakan kondisi ideal itu dengan ikut mengawasi perilaku anaknya. Tapi, ketika berada di sekolah, siswa jelas berhak untuk mendapatkan lingkungan yang aman dan nyaman agar dapat belajar dengan baik.

http://www.tempointeraktif.com

Cicak & Buaya

Senin, 09 November 2009

… dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika kata ”cicak” melawan ”buaya” dipakai pertama kalinya dalam pertentangan yang kini disebut sebagai konflik antara ”KPK” dan ”Polisi”. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang dipakainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:

”Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.…”

Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pelaku yang bertentangan—dan tak seimbang.

Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter panjangnya, hidup di celah-celah rumah kita, tak mengganggu, dengan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mangsanya nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak menyanyikan lagu yang riang tentang dia, (”Cicak-cicak di dinding…”) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun, kecuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat ”kadal” kecil dari khatulistiwa itu.

Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjangnya. Kulitnya kasar keras, moncongnya menakutkan, dan meskipun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa menyerang. Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang, habitatnya jarang didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya hewan lain, juga kita.

Dalam bahasa Indonesia, ”buaya” umumnya sebuah metafor untuk sesuatu yang punya sifat tak baik: ”buaya darat”, misalnya. Ada memang kata ”buaya kroncong”, yang barangkali dipakai untuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis musik itu—dan penggemar itu tak gampang puas.

Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi mengumpamakan dirinya—mungkin juga korpsnya—dengan seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya melihat dalam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin juga kepintaran yang agresif. Dalam wawancara yang saya kutip tadi, Susno Duadji melihat pihak ”sana”, yakni KPK, sebagai cicak yang ”masih bodoh”. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah berusaha ”memintarkan”, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si kecil itu telah diberi kekuasaan, kata Susno Duadji, tapi ”malah mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa”.

Dari semua itu tampak, metafor Susno—seperti halnya metafor pada umumnya—tidak berperan sebagai ornamen. Memang ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan, karena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa (dengan kata lain: sesuatu yang tercerap pancaindra). Tapi orang yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan untuk memperindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa bahasa tak dimulai dari ide. Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa berpangkal dari proses indrawi.

Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan ini berlaku sejak kata seru seperti ”Wah!” sampai kata benda yang mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan asosiasi tertentu di dalam pikiran kita. Kata ”sulur”, misalnya, mengandung bunyi ”lur” yang kita dapatkan dalam ”julur”, ”salur”, ”balur”: sebuah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu yang memanjang tapi tak meregang.

Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji), dan bukan sesuatu yang rasional dan kognitif, metafor dilahirkan dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik metafor maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyampaikan sebuah pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang fundamental.

Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang dipilih untuk merumuskan cita-cita Partai Golkar; atau palu-arit untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi bila simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih spontan; ia lebih bergerak ke arah asosiasi ketimbang ke arah konsep. ”Pungguk merindukan bulan” adalah sebuah metafor, bukan simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji seekor burung buruk muka yang hinggap di sebuah dahan ketika malam mengagumi purnama. Antara si pungguk dan rembulan itu ada kontras yang jelas—juga jarak yang tak akan terjangkau. Metafor itu lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang mengikhtisarkan sebuah ide tentang cinta yang tak sampai.

Juga ketika kata ”cicak” dan ”buaya” dengan spontan dipakai: saya kira yang berperan bukan sebuah konsep yang dipikirkan. Bahkan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.

Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu menyugestikan bahwa yang terjadi tak berbeda dari perseteruan di alam bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum sebagai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Memang Susno Duadji tak melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan, sang buaya tak marah, ”cuma menyesal” karena menurut penilaiannya si cicak masih tetap saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi demikian tampak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.

Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bahwa konflik antarlembaga negara hanya selesai karena kekuatan fisik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas dalam manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai secara luas itu memang menunjukkan sebuah pengakuan bahwa ”hukum” selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa pengertian ”keadilan” sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni atas bahasa dan makna?

Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan lepas dari keinginan sang pemakai pemula. Ia ramai-ramai dipungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia hewan itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi?

Goenawan Mohamad

http://www.tempointeraktif.com

Minggu, 01 November 2009

Eumenides

Senin, 02 November 2009

Kita kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya keadilan?

Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari “rasa keadilan”. Kata “rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah “kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang kita sebut “rasa keadilan” itu.

Tapi “rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga selesai.

Ada masanya “keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, “satu mata dibalas satu mata”.

Tapi jika “keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam pelbagai cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya dalam sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana “keadilan” itu mengalami transformasi.

Dalam lakon Oresteia yang terdiri dari tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh isterinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya.

Memang kepada sahabatya, Pylades, ia bertanya: “Apa yang kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!”. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan itu juga.

Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut ?????? – yang dalam bahasa Inggris disebut “the furies” – mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.

Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selama-lamanya.

Boleh dikatakan ini adalah lakon lahirnya hukum yang proses dan sikapnya berbeda sama sekali: prosedur hukum inilah (yang mencoba menterjemahkan “keadilan”) yang agaknya yang jadi tauladan di Eropa dan Amerika kemudian, sampai hari ini

Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.

Hukum itu juga meringkus: ia tak mengijinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan “pembalasan”. Inilah awal pandangan yang disebut “positivisme hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-niai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang – biarpun itu dirasakan tak adil.

Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan tanahairnya sendiri. Ia pengkhanat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota.

Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur, yakni hukum dari dewa-dewa. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai berperang: negara tak akan kukuh hukumnya bila ia guyah -- meskipun putranya sendiri, tunangan Antigone, membela gadis yang membangkang itu.

Tapi dari kedua lakon Yunani kuno itu kita bisa tahu: di dasar hukum, di awal hukum, ada kekerasan yang disembunyikan. Para dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah adalah semacam bawah-sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum Kreon adalah kelanjutan dari peperangan.

Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika undang-undang mereduksikan hidup seseorang yang unik dan khas jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku umum. Derrida menyebut reduksi ini “kekerasan klasifikasi”.

Dengan kekerasan itu, di manakah keadilan? Jika keadilan telah diubah jadi sesuatu yang tak lagi pembalasan dendam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang hukum dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa seorang manusia tak bisa dianggap sebagai sekedar sebuah kasus legal.

Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani kuno ikut dalam percaturan yang berdarah antara manusia. Rasanya tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam agama Abrahami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham mengapa, dalam Alkitab, Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun lelaki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.

Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak selamanya jelas, dan mungkin memang tak akan jelas. Tapi tiap kali kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke sebuah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mungkin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: “Keadilan, atau kehancuran!”.

Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa dibenamkan oleh bangunan mahkamah manapun. Hukum selamanya sebuah kekurangan.
Goenawan Mohamad
http://tempointeraktif.com