Senin, 09 November 2009
… dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika kata ”cicak” melawan ”buaya” dipakai pertama kalinya dalam pertentangan yang kini disebut sebagai konflik antara ”KPK” dan ”Polisi”. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang dipakainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:
”Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.…”
Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pelaku yang bertentangan—dan tak seimbang.
Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter panjangnya, hidup di celah-celah rumah kita, tak mengganggu, dengan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mangsanya nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak menyanyikan lagu yang riang tentang dia, (”Cicak-cicak di dinding…”) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun, kecuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat ”kadal” kecil dari khatulistiwa itu.
Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjangnya. Kulitnya kasar keras, moncongnya menakutkan, dan meskipun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa menyerang. Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang, habitatnya jarang didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya hewan lain, juga kita.
Dalam bahasa Indonesia, ”buaya” umumnya sebuah metafor untuk sesuatu yang punya sifat tak baik: ”buaya darat”, misalnya. Ada memang kata ”buaya kroncong”, yang barangkali dipakai untuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis musik itu—dan penggemar itu tak gampang puas.
Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi mengumpamakan dirinya—mungkin juga korpsnya—dengan seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya melihat dalam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin juga kepintaran yang agresif. Dalam wawancara yang saya kutip tadi, Susno Duadji melihat pihak ”sana”, yakni KPK, sebagai cicak yang ”masih bodoh”. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah berusaha ”memintarkan”, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si kecil itu telah diberi kekuasaan, kata Susno Duadji, tapi ”malah mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa”.
Dari semua itu tampak, metafor Susno—seperti halnya metafor pada umumnya—tidak berperan sebagai ornamen. Memang ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan, karena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa (dengan kata lain: sesuatu yang tercerap pancaindra). Tapi orang yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan untuk memperindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa bahasa tak dimulai dari ide. Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa berpangkal dari proses indrawi.
Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan ini berlaku sejak kata seru seperti ”Wah!” sampai kata benda yang mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan asosiasi tertentu di dalam pikiran kita. Kata ”sulur”, misalnya, mengandung bunyi ”lur” yang kita dapatkan dalam ”julur”, ”salur”, ”balur”: sebuah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu yang memanjang tapi tak meregang.
Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji), dan bukan sesuatu yang rasional dan kognitif, metafor dilahirkan dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik metafor maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyampaikan sebuah pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang fundamental.
Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang dipilih untuk merumuskan cita-cita Partai Golkar; atau palu-arit untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi bila simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih spontan; ia lebih bergerak ke arah asosiasi ketimbang ke arah konsep. ”Pungguk merindukan bulan” adalah sebuah metafor, bukan simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji seekor burung buruk muka yang hinggap di sebuah dahan ketika malam mengagumi purnama. Antara si pungguk dan rembulan itu ada kontras yang jelas—juga jarak yang tak akan terjangkau. Metafor itu lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang mengikhtisarkan sebuah ide tentang cinta yang tak sampai.
Juga ketika kata ”cicak” dan ”buaya” dengan spontan dipakai: saya kira yang berperan bukan sebuah konsep yang dipikirkan. Bahkan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.
Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu menyugestikan bahwa yang terjadi tak berbeda dari perseteruan di alam bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum sebagai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Memang Susno Duadji tak melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan, sang buaya tak marah, ”cuma menyesal” karena menurut penilaiannya si cicak masih tetap saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi demikian tampak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.
Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bahwa konflik antarlembaga negara hanya selesai karena kekuatan fisik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas dalam manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai secara luas itu memang menunjukkan sebuah pengakuan bahwa ”hukum” selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa pengertian ”keadilan” sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni atas bahasa dan makna?
Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan lepas dari keinginan sang pemakai pemula. Ia ramai-ramai dipungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia hewan itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi?
Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar