Minggu, 18 Juli 2010
Kerajaan Samudra Pasai
1. Latar Belakang
Kerajaan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Kesultanan Samudera Pasai, Samudera, Samudra, Pasai, atau Samudera Darussalam belum bisa dipastikan dengan tepat kapan berdirinya dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Jika dikaitkan dengan sumber yang ada mendapat kesimpulan bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah berdiri sebelum Dinasti Usmani di Turki, karena berdasarkan bukti pada tahun 1297 Masehi Kesultanan Samudera Pasai telah menyebarkan kekuasaan dan pengaruh terhadap Asia Tenggara. Sedangkan Adikuasa Dinasti Ottoman memulai kejayaanya pada tahun 1385 Masehi.
Berita tertua tentang Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari berita Negeri Tirai Bambu dalam sebuah catatan tahun 1288 yang menyebutkan bahwa “Lan-Wu-Li dan Sawen-Ta-La” yang berartikan Lamuri dan samudra bersama-sama telah mengirimkan utusan ke Negeri Cina (Iskandar 1959:25). Masih dalam kabar dari Cina tapi dari lain sumber tepatnya pada buku T’oung Pao Archvies halaman 337, menyebutkan bahwa terdapat sebuah kerajaan di Sumaterayang bernama Samudra pada abad ke-14. Dalam sumber lain tetap dari Negeri Cina tahun 1385, disebutkan bahwa Kerajaan Samudra diperintah Oleh rajanya yang bernama Malik Gundhanfar, yang mengirim utusanya ke Cina.
Berita lainya adalah catatan Marcopolo tahun 1292 menuturkan bahwa ada beberapa kerajaan di kawasan Sumatra diantaranya yaitu Perlec, Basma, Dagrian, Lamuri, dan Fansur. Jika kita telaah kembali dan dicermati, dalam catatan Marcopolo tidak menyebutkan Samudera Pasai tetapi Basma yang letaknya berdekatan dengan Pasai. Catatan Marcopolo menyebutkan bahwa di Perlec telah ada masyarakat beragama Islam (Iskandar 1959).
Hoessein Djajadiningrat (cf.Alfian 1973:20) mengemukakan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai sekitar 1270 dan 1275. Pendapat yang sama diperoleh dari riwayat Malaysia yang menyebutkan bahwa Raja Samudra yang awalnya menyembah berhala telah masuk Islam antara tahun 669 dan 675 Hijriah atau 1270 dan 1275 Masehi dan rajanya bergelar Islam yaitu Malikh as Shaleh.
Tentang kapan berdirinya Kesultanan Samudra Pasai juga menyita perhatian sejumlah ahli sejarah dan penliti dari Eropa pada masa pendudukan colonial Hindia Belanda. Penelitian dilakukan beberapa kali. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik Al Shaleh sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Gelar nama Sultan Malik Al Shaleh sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain; Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.
Berbeda dengan sumber dan petunjuk baru berdasarkanketerangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua naskah lokal Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh yang ditemukan di Aceh. Kesimpulan yang dapat diambil dari sumber baru tersebut adalah bahwa Kesultanan Samudra Pasai sydag berdiei sejak abad XI Masehi atau tepatnya tahun 433 Hijriyah / 1042 Masehi dab sebagai pendiri dan sultan pertama adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 Hijriyah / 1042-1078 Masehi.
Dalam sebuah nama,penyebutan Kesultanan Samudera Pasai juga mengalami kesimpangsiuran antara pengejaan dan penyebutan. Disebutkan bahwa nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau Perca. Sedangkan para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Sehubungan dengan asal nama Kesultanan Samudera Pasai, Hikayat Raja-raja Pasai sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari Meurah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Meurah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh Meurah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi tersebut disuruh Meurah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Meurah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Meurah Silu negeri Samudera, artinya semut yang amat besar.
Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.
Pada bagian lain dari Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan tentang Kerajaan Samudra sebagai suatu kerajaan yang diperintah oleh Sultan Malikus Shaleh. Sementara Kerajaan Pasai adalah sebuah kerajaan yang baru setelah Samudera yang dibuka Sultan Malikus Shaleh untuk puteranya yang bernama Malikus Zahir. Dalam pemberitaan-pemberitaan selanjutnya juga sering kali kedua nama Samdra dan Pasai digabungkan menjadi Samudra Pasai untuk menyebut kerajaan Islam Pertama Di nusantara ini.
Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama Pasai berasal dari kata “tapasai”, yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).
2. Sejarah
peta samudera pasai.jpg
Peta letak Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. Kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai berawal dari runtuhnya kerajaan Sriwijaya pada Abad ke 13. Sultan Pertama Bernama Meurah Silu yang bergelar Sultan Malik Al Shaleh. Kesultanan Samudera Pasai berlokasi di pesisir pulau sumatera, di lembah sungai merupakan pusat pemukiman penduduk yang cocok. Tanah yang subur memberikan hasil bahan makanan yang cukup. Hubungan pedalaman yang memungkinkan adanya sungai-sungai memberikan dinamika tersendiri dalam arti perdagangan dengan daerah pedalaman. Dalam keadaan yang demikian, Kerajaan Samudera Pasai yang berada pada muara sungai mempunyai potensi besar untuk berkembang sebagai bandar perdagangan.
Alasan yang menguatkan Kesultanan Samudera Pasai tergabung dan ikut andil dalam jaringan perdagangan antar bangsa adalah letaknya berada di jalur perdagangan internasional Arab dan Cina. Jarak pelayaran yang begitu jauh antara Arab dan Cina menjadi Kerajaan Samudera Pasai sebagai tempat singgah para pedagang, terlebih karena pelayaran mengharuskan para pedagang menunggu angin musim yang cocok untuk berlayar meneruskan perjalanan. Selain itu, Kerajaan Samudera Pasai menghasilkan komoditas perdagangan ekspor seperti lada, sutra, kapur barus dan banyak lagi komoditas ekspor yang bisa diperoleh karena Kesultanan Samudera Pasai adalah tempat pengumpul barang dari berbagai daerah. Selain itu, dalam Kesultanan Samudera Pasai terdapat beberapa jenis barang dari Cina yang dapat dibeli pedagang lainya tanpa harus berlayar ke Cina.
Kemungkinan pada masa pemerintahan Sultan Malik Al-Shaleh sudah ada hubungan dengan Cina sebagaimana diberitakan dalam Dinasti Yuan bahwa tahun 1282 M seorang utusan CIna bertemu dengan salah seorang menteri dari kerajaan Sumatra di Qouilon yang meminta agar raja Sumatra (Samudra) mengirimkan dutanya ke Cina. Ternyata pada tahun itu ada dua orang utusan dari Samudra yang bernama Sulaeman dan Snams-ad-Din Hubungan dengan negeri-negeri Timur Tengah selalau ada bahkan sekitar tahun 1346 M berdasarkan berita Ibnu Battutah yang bernama Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj-Al-Din dari Isfahan. Diceritakan Kerajaan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan dengan Malaka bahkan mengikat hubungan dengan perkawinan. Para pedagang yang singgah di Kerajaan Samudera Pasai dari berbagai negeri, seperti Rumi,Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling Bengali, Melayu, Jawa, Bruas, Siam, Kedah dan Pegu.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Pada masa Kerajaan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis, ada yang dibuat dari emas yang disebut dengan dramas yang dibandingkan dengan harga mata uang portugis crusade, yaitu 9 dramas sama dengan 1 crusadeyang juga sama dengan 500 cash. Mata uang emas dibuat dari serbukan emas dan perak.
Disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti; Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Dibidang keagamaan sebagaimana telah diberitakan Ibnu Batutah tentang kehadiran para ulama dari Persia, Syria, dan Isfahan. Ibnu Batutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Samudera Pasai terhadap agama Islam dari madzhab syafi’i dan Sultan Samudera Pasai selalu dikelilingi oleh ahli-ahli Islam.
Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
3. Perjalanan Kesultanan Samudera Pasai
a. Sultan Malik Al Shaleh
Sebelum memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Shaleh adalah Marah Silu atau Meurah Silo. “Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau yang sering disebut dengan Sukee Imuem Peuet. Sukee Imuem Peuet adalah sebutan untuk keturunan Empat Maharaja atau Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu atau Buddha di Aceh di antaranya adalah Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu putra dari pasangan Marah Gadjah dan Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum. Sepeninggal orang tuanya, Marah Silu dan Marah Sum memutuskan untuk meninggalkan kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.
Seperti yang telah dikisahkan, Marah Silu memeluk Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja Pasai dengan memberikan catatan bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama Kerajaan Samudera beserta penduduk di kerajaan tersebut diislamkan oleh salah seorang sahabat Nabi yang bernama Syaikh Ismail. Berdasarkan catatan dari hikayat Raja-raja Pasai dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran agama Islam sudah masuk ke wilayah Aceh tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat pada sekitar abad pertama tahun Hijriah atau sekitar abad ke-7 atau abad ke-8 tahun Masehi. Bisa diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59).
Data-data tentang Islam di Kerajaan Samudera menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Kerajaan Samudera adalah tempat pertama kali yang diislamkan. Masih tersebut dalam Hikayat Raja Pasai, Nabi Muhammad (Rasulullah) yang membawa Islam ke Kerajaan Samudera Pasai. Dikisahkan dalam tatap muka di kala tidur antara Marah Silu dengan Rasulullah. Nabi Muhammad telah menuntun Marah Silu memebaca dua kalimat syahadat. Dalam mimpi Nabi Muhamad meludahi mulut Marah silu sehingga Marah silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, setelah terbangun dari mimpinya Marah silu sudah keadaan berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Kerajaan Samudera Pasai. Dalam proses inilah Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan dengan lancer (Chamamah, 2002:40).
Ketika Malik Al Shaleh dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan dilakukan dengan gaya Arab dimana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta menjunjung dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.
Bersamaan dalam rangkaian upacara penobatan Raja Malik Al Shaleh telah ditetapkan dua tokoh besar, sebagai penasehat Sultan, yakni Tun Sri Kaya dengan gelar Sayid Ali Khiatuddin dan Tun Sri Baba Kaya dengan gelar Sayid Asmayuddin. Aroma Islam semakin terasa ketika Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba diberi gelar berkesan Arab (Said, 1963:85).
Sultan Malik Al Shaleh menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, Sultan Malik Al Salih dikaruniai dua orang putra, yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak Muhammad dipercaya untuk memimpin Kerajaan Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik Al Tahir), berdampingan dengan Sultan Malik Al Shaleh yang masih tegap memimpin Kerajaan Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah, memilih keluar dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan mendirikan pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295 Masehi.
b. Sultan Muhammad Malikul Zahir
Di bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan. Masa kejayaan Sultan Muhammad Malikul Zahir dikuatkan dengan bukti catatan Ibnu Batutah. Ibnu Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi dalam kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin hubungan dagang dengan negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang dari Jawa menukar beras dengan lada.
Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan menara-menara yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid(Ismail, 1997:37).Di dalam pagar yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial di kota, para pendatang baru dari desa, orang-orang asing, para pengrajin, dan segala aktivitas urban lainnya ditempatkan di luar pagar di sekeliling pusat kota. Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari Istana Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.
Bisa diterjemahkan dari penjelasan dari Ibnu Batutah bahwa Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi sebagai batas yang membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.
Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang memiliki semanngat belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Ibnu Batutah juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan tokoh kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.
Kesan Ibnu Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam. Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitulah Ibnu Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan hati sang Sultan Muhammad Malikul Zahir salah satunya ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Batutah.
Di masa keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai berdiri, yakni di kawasan Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga yang sangat strategis. Pada saat itu, kawasan Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi lokasi transaksi dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi, seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).
Di samping sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai yang berlokasi di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Sultan Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia. Oleh Sultan Malik Al Salih, kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid Semayamuddin.
c. Malikul Mahmud
Ketika kedua pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin pemerintahan, maka Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari singgasananya yang meliputi dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya, sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan Samudera. Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang tidak lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan Mansur ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai singgasana Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
d. Ahmad Permadala Permala
Sejak tahun 1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul Mahmud digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.
Sempat terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir II yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang buruk. Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir menimbulkan kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
Tun Beraim Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat. Merasa ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran yang seharusnya menjadi putra mahkota akhirnya meninggal setelah memakan racun yang diberikan utusan sang ayah. Tidak lama kemudian, kedua saudara perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul kakaknya dengan memakan racun yang sama (Jones [ed.], 1999:35-56).
Keganasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan Majapahit, Radin Galoh Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya untuk menghabisi nyawa Tun Abdul Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun Abdul Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, rasa cinta yang tidak tertahankan, Radin Galoh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai bersama para pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil.
Sesampainya di Kerajaan Samudera Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa Tun Abdul Jalil pujaan hati Radin Galoh Gemerencang sudah meninggal, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya. Sisa rombongan pengawal yang mengiringi Radin Galoh Gemerencang segera kembali ke Jawa dan melapor kepada Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.
Sang Raja tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu, dan kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan berhasil menduduki Kerajaan Samudera Pasai. Karena semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Kerajaan Samudera Pasai.
Sementara itu, seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil harta rampasan dan tawanan perang dari Kerajaan Samudera Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa, laskar tentara Majapahit terlebih dahulu singgah di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus membawa barang jarahan yang semakin banyak. Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Samudera Pasai seperti yang dikisahkan dalam Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.], 1999:57-65).
e. Sultanah Nahrasiyah
Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama agar tidak mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di tangan Malik Musthofa dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465). Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah.
Sultanah Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.”
Dikemukakan oleh M Zainuddin dalam “Tarikh Aceh dan Nusantara” diterbitkan oleh Pustaka Iskandar Muda – Medan 1961. Menurut Snouck Hurgronye “Arabic et la Indes Nederlands” di dalam Verspreide Geschriften (VG) IV, Sultanah Nahrisyah ini adalah Bahiah.
4. Silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai
1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (1455-1477)
11. Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (1477- 1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (1501-1513)
13. Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun (1513-1524)
5. Sebab – sebab Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai mahapatih. Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kerajaan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kerajaan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).
Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.
Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kerajaaan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Hingga menjelang abad ke-16, Kerajaan Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125).
Namun,kemudian peranan Kerajaan Samudera Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu (Ismail, 1997:24). Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.
Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Kerajaan Samudera Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai (Rusdi Sufi, 2004:57).
Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.
6. Jejak-jejak Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai
a. Deureuham atau Dirham
Dalam buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan, sang juru tulis dan penterjemah Laksamana Muslim Cheng Ho dari Cina saat muhibah ke Sumatera Utara (1405 - 1433), disebutkan bahwa mata uang Samudera Pasai adalah Dinar emas dengan kadar 70 persen dan mata uang keueh dari timah (1 Dinar = 1.600 keueh). Pasai telah mencetak Dinar pertamanya pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan mas yang sepadan dengan 40 grains atau 2,6 gram.
Aceh
Deureuham atau Dirham
Pada masa Sultan Ahmad Malik Az-Zahir koin Dinar lebih dikenal sebagai Derham mas, dicetak dalam dua pecahan yaitu Derham dan setengah Derham (1346-1383). Setelah Aceh menaklukkan Pasai (1524) tradisi mencetak Derham mas menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan semenanjung Malaka. Derham ini tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Sampai hari inipun di Sumatera Barat masih dijumpai pemakaian satuan mas (1 mas = 2,5 gram) sebagai unit jual beli, terutama untuk tanah.
Dirham merupakan alat pembayaran dari emas tertua di Asia Tenggara. Mata uang ini digunakan Samuedera Pasai sebai alat pembayaran pada masa Sultan Muhammad Malik al-Zahir. Pada satu sisi dirham atau mata uang emas itu tertulis; Muhammad Malik Al-Zahir. Sedangkan di sisi lainnya tercetak nama Al-Sultan Al-Adil. Diameter Dirham itu sekitar 10 mm dengan berat 0,60 gram dengan kadar emas 18 karat.
Seorang putra pribumi pakar Aceh bernama Ibrahim Alfian (1973) mengemukakan tentang hasil analisanya tentang mata uang Aceh yang menjadi koleksi pribadinya dan yang terdapat di Museum Negeri Aceh. Diantaranya dikenali dari masa pemerintahan
Sultan Muhammad (1326 - 1345 Masehi)
Sultan Zainal Abidin (1371 – 1405 Masehi)
Sultan Abu Zaid Malikh ad Dhahir (? Masehi)
b. Cakra Donya
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M. dengan tinggi 125 cm. dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Pada dasarnya Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan
Lonceng-Cakra-Dounya
Cakra Donya
Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut.
Rantai (Rante) Cakra Donya panjangnya 9,63 cm adalah rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915.
Cakra Donya adalah hadiah yang diberikan Kaisar Cina kepada Sultan Samudera Pasai. Hadiah berupa bel itu terbuat dari besi dan diproduksi pada tahun 1409 M. Bel itu dipindahkan ke Banda Aceh sejak Portugis dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
3. Makam Sultan Malik Al-Saleh .
komplek_makam
Makan Sultan Malik AL-Shaleh
Makam Malik Al-Saleh terletak di Desa Beuringin, Kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Nisan makam sang sultan ditulisi huruf Arab, yang artinya Dikubur almarhum, yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelar dengan “Sultan Al-Malikussaleh”. Yang paham agama, yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 H.
malikul-saleh
4. Makam Sultan Muhammad Malik Al- Zahir
samudra-pasai-rev-06
Nisan Makam Sultan Malik Al-Zahir
Malik Al-Zahir adalah putera Malik Al- Saleh, Dia memimpin Samudera Pasai sejak 1287 hingga 1326 M. Pada nisan makamnya yang terletak bersebelahan dengan makam Malik Al-Saleh, tertulis kalimat; Ini adalah makam yang dimuliakan Sultan Malik Al-Zahir, cahaya dunia dan agama. Al-Zahir meninggal pada 12 Zulhijjah 726 H atau 9 November 1326.
5. Makam Sultanah Nahrisyah
samudra-pasai
Nisan Makam Sultanah Nahrisyah
Makam Sultanah Nahrisyah terletak di Kabupaten Aceh Utara sekitar satu kilometer ke arah pantai. Letak makam memang tidak jauh dari bibir pantai. Hanya dibatasi tambak-tambak ikan yang konon pada zaman kejayaan Samudera Pasai adalah kanal-kanal kecil yang dapat dilalui perahu untuk transportasi laut.
Makan Sultanah Nahrisyah terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora itu sangat mengesankan. Marmer-marmer mewah cokelat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat, India, untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang.
f. Makam Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah
Teungku Sidi Abdullah Tajul Milah berasal dari Dinasti Abbasiyah dan merupakan cicit dari khalifah Al-Muntasir yang meninggalkan negerinya ( Irak ) karena diserang oleh tentara Mongolia Beliau berangkat dari Delhi menuju Samudera Pasai dan mangkat di Pasai tahun 1407 M. Beliau adalah pemangku jabatan Menteri Keuangan.
Makam beliau terletak di Gampong Kuta Krueng Kecamatan Samudera ± 18 makam sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya terbuat dari marmer berhiaskan ukiran kaligrafi, ayat kursi yang ditulis At-Taubah ayat 21-22.melingkar pada pinggiran nisan. Sedangkan di bagian atasnya tertera kalimat Bismillah serta surat
g. Makam Naina Hasamuddin
Naina Hasamuddin wafat pada bulan Syawal 823 H ( 1420 M ). Makam beliau terletak di Gampong Mns. Pie Kecamatan Samudera kabupaten Aceh Utara , dalam komplek makam terdapat 12 batu pusara. Situs makam ini berhiaskan ornamen dan kaligrafi ayat Kursi di atas batu pualam, ditambah dengan sepotong sajak berbahasa Parsi berisikan petuah mati bagi yang hidup, Sajak tersebut ditulis penyair Iran Syech Muslim Al-Din Sa’di (1193-1292) yang diterjemahkan oleh sejarawan Ibrahim Alfian: Tiada terhitung bilangan tahun melintasi bumi, Laksana mata air mengalir dan semilir angin lalu, Bila kehidupan hanyalah separangkat kumpulan hari-hari manusia, Mengapa penyinggah bumi ini menjadi angkuh? Oh, sahabat! Jika kau lewat makam seorang musuh, Janganlah bersuka cita, sebab hal yang sama jua akan menimpamu, Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan, Debu-debu akan merasuki tulang belulang Laksana pupur cetak memasuki kotak penyimpanannya. Barangsiapa menyombongkan diri dengan hiasan bajunya, Esok hari jasadnya yang terkubur hanya tinggal menguap.
Dunia sarat persaingan dan sedikit kasih sayang, Ketika tersadar ia terkapar tanpa daya.
Demikianlah sesungguhnya jasad yang kau lihat terbujur berkalang tanah Barang siapa memenuhi peristiwa penting ini dari kehidupannya nanti, Kemanakah ia harus menghindar? Tak ada yang mampu memberi pertolongan, kecuali amal shaleh.
Saidi bernaung dibawah bayang Allah yang maha pemurah Yaa Rabbi, janganlah siksa hambamu-Mu yang malang dan tak berdaya ini Dosa senantiasa berasal dari kami, sedang engkau penuh limpahan belas kasih.
h. Makam Perdana Menteri
Situs ini disebut juga Makam Teungku Yacob. Beliau adalah seorang Perdana Menteri pada zaman Kerajaan Samudera Pasai, sehingga makamnya digelar Makam Perdana Menteri. Beliau mangkat pada bulan Muharram 630 H atau Augustus 1252 M. Dilokasi ini terdapat 8 buah batu pusara dengan luas pertapakan 8 x 15 m. Nisannya bertuliskan kaligrafi yang indah surat Al-Ma’aarij ayat 18-23 dan surat Yasin ayat 78-81.
i. Makam Teungku Peuet Ploh Peuet
Dikomplek Makam Teungku 44 (Peuet Ploh Peuet) dikuburkan 44 orang ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh karena menentang dan mengharamkan perkawinan raja dengan putri kandungnya.
Makam ini dapat kita temui di Gampong Beuringen Kecamatan Samudera ± 17 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Pada nisan tersebut bertuliskan kaligrafi yang indah surat Ali Imran ayat 18.
j. Makam Said Syarif
Said Syarif adalah seorang menteri dari Kerajaan Samudera Pasai. Beberapa sejarawan menyebutkan beliau merupakan ayah kandung Fathillah atau Falatehan, seorang ulama terkenal bergelar Sunan Gunung Jati, pendiri Kota Jayakarta (Jakarta), lahir di Pasai 1490 M.
Makamnya terletak di Gampong Mancang Kecamatan Samudera ± 16 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya terbuat dari batu marmar bertuliskan kaligrafi yang indah terdiri dari ayat Kursi, surat Ali Imran ayat 18-19 dan surat At-Taubah ayat 21-22.
k. Makam Teungku di Iboih
Makam Teungku di Iboih adalah makam Maulana Abdurrahman Al-Fasi. Sebagian arkeolog berpendapat bahwa makam ini lebih tua dari makam Malikussaleh.
Makam beliau terletak di desa Mancang Kecamatan Samudera ± 16 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi yang indah terdiri dari ayat Kursi, surat Ali Imran ayat 18 dan surat At-Taubah ayat 21-22.
l. Makam Batee Balee
Makam ini merupakan situs peninggalan sejarah Kerajaan Samudera Pasai. Tokoh utama yang dimakamkan pada Situs Batee Balee ini adalah Tuhan Perbu yang mangkat tahun 1444 M.
Lokasi di desa Meucat Kecamatan Samudera ± sebelah Timur Kot Lhokseumawe. Diantara nisan-nisan tersebut ada yang bertuliskan kaligrafi yang indah yang terdiri dari surat Yasin, Surat Ali Imran, Surat Al’Araaf, Surat Al-Jaatsiyah dan Surat Al-Hasyr.
m. Makan Ratu Al-Aqla (Nur ilah)
Ratu Al-Aqla adalah puteri Sultan Muhammad ( Malikul Dhahir ), yang mangkat pada tahun 1380 M, beliau menjadi raja di Pasai dan Kedah.
Makam tersebut berlokasi di Gampong Meunje Tujoh Kecamatan. Matangkuli ± 30 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi yang indah berbahasa Kawi dan bahasa Arab.
n. Stempel Kerajaan
Stempel Peninggalan Samudra pasai
Stempel yang ditengarai Milik Sultan Muhamad Malikul Zahir,Sultan Kedua Kerajaan Samudera Pasai, oleh Tim peneliti Sejarah Kerajaan islam. Stempel di temukan Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Keadaan stempel saat ditemukan telah patah pada bagian gagangnya. Stempel berukuran 2×1 centimeter, diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Ada pendapat, bahwa Stempel ini telah digunakan sampai dengan masa pemerintahan pemimpin terakhir Samudera Pasai, Sultan Zainal Abidin.
o. Naskah Surat Sultan Zainal Abidin
Naskah Surat Sultan Zainal Abidin adalah surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum wafat pada tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi, yang ditujukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India.
Naskah Surat Sultan Zainal Abidin ditulis dengan bahasa Arab. Merupakan sumber penggambaran keadaan Kesultanan Samudera Pasai dalam abad ke-16 terutama menyangkut tentang kondisi terakhir yang dialami Kesultanan Samudera Pasai setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 Masehi. Nama-nama negeri atau kerajaan yang mempunyai hubungan erat dengan Kesultanan Samudera pasai juga tertera di dalamnya. Sehingga dapat diketahui pengejaan asli dan nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain; Negeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka).
Fotografi naskah surat Sultan Zainal Abidin terdapat di Museum Negeri Aceh, sedangkan naskah asli surat Sultan Zainal Abidin tersimpan di Lisabon, Portugal.
Kepustakaan
Acehlong News (2009).Stempel Usia 683 Tahun Milik Kerajaan Pasai Ditemukan [Online]http://acehlong.com/2009/03/17/stempel-usia-683-tahun-milik-kerajaan-pasai-ditemukan/. Diakses pada 28-11-2009
Al-Jawi, Sufyan. (2009). Enam Abad Dinar Dirham Made in Indonesia.[Online] http://wakalanusantara.com/detilurl/Enam.Abad.Dinar.Dirham.Made.in.Indonesia./104. Diakses pada 26-11-2009.
Gade Ismail,Muhamad.(1993). Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad ke-16.Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Gara,Putra.(2009).Napak Tilas Kerajaan Samudera Pasai.[Online].http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MTc1NDEx. Diakses pada 27-11-2009.
Indowarta.(2009).Makam Perdana Menteri Samudera Pasai Ditemukan.[Online]http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=959:makam-perdana-menteri-samudera-pasai-ditemukan-&catid=77:sumatera&Itemid=177. Diakses pada 28-11-2009.
Iswara NR. (2009). Kerajaan Samudera Pasai.[Online]http://www.awangfaisal.com/kerajaan-samudera-pasai. Diakses pada 26-11-2009.
Kadarisman Kartakusuma M.Hum, Richadiana. (2009). Selantun Kisah Tentang Samudra Pasai [Online] http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/532. Dikases pada 27-11-2009
Melraj04.(2007).Lonceng Cakra Donya [Online]http://melraj04.multiply.com/reviews/item/8. Diakses pada pada 27 November 2009.
Pocut Haslinda Hamid Azwar.(2009)_________. [Online] www.modusaceh-news.com.
Poesponegoro,Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam. Edisi Pemutakhiran. Jakarta : Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka.
Republika Newsroom.(2009). Ibnu Battuta Kisah Sang Pengembara. [Online]http://www.republika.co.id/berita/34670/Ibnu_Battuta_Kisah_Sang_Pengembara. Diakses pada 28-11-2009
Ruswandi. (2008). Samudera Pasai. [Online]http://mentoring98.wordpress.com/2008/09/27/samudera-pasai/. Diakses pada 27 November 2009.
Schlegel,Gustave, dan Henry Codier.(1901). T’oung Pao Archvies. Sevre 2. Vol II. Leiden :E.J. Brill.
Sufi, Rusdi dan Wibowo, Agus Budi. (2009). Kerajaan Islam Samudra Pasai.[Online] http://www.semestaindonesia.com/cbn/?p=985. Diakses pada tanggal 26-11-2009.
Situs Resmi Pemda Aceh Utara (2008).Pariwisata : Nuansa Budaya Aceh Utara.[Online]http://www.acehutara.go.id/?pilih=hal&id=6. Diakses Pada 26-11-2009
Sumber Foto :
Buku Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad ke-16. Peta 1 : Kedudukan Samudera Pasai
Koleksi dari http://m.serambinews.com
Koleksi dari http://3.bp.blogspot.com
Koleksi dari http://2.bp.blogspot.com
Koleksi dari http://meuligoeaceh.files.wordpress.com
Koleksi dari http://www.melayuonline.com
Koleksi dari http://acehkita.com
Sumber:
Tim Wacana Nusantara
4 December 2009
di Copy dari:
http://www.wacananusantara.org/content/view/content/view/category/0/id/562
Patung Sudirman Dilelang, Pengunjung Kecewa
Pacitan - Wacana pelelangan situs sejarah Monumen Jenderal Sudirman di Pacitan menuai tanggapan beragam. Sebagian pengunjung monumen tersebut mengaku kecewa dengan kabar tersebut.
"Sayang sekali kalau harus dilelang. Padahal nilai sejarahnya sangat tinggi," ujar Watiyo (43) warga Sumbergalih, Kecamatan Purwantoro, Wonogiri di lokasi, Minggu (18/7/2010). Dia mengunjungi obyek tersebut bersama anaknya Budi Prasetyo (10).
Watiyo menilai, sebagai obyek wisata minat khusus, kawasan monumen justru harus dioptimalkan pengelolaannya. Sehingga dapat mendatangkan lebih banyak wisatawan.
"Di sini pemandangannya indah. Dan yang lebih penting bisa mengajari anak saya meneladani perjuangan Pak Dirman," imbuhnya.
Tanggapan berbeda diungkapkan Tarto (45) warga setempat. Pria yang lebih dikenal sebagai takmir masjid ini justru mengaku belum tahu ihwal kabar pelelangan monumen. Namun yang terpenting, kata Tarto, penyelesaian apapun yang ditempuh dapat memberi kepastian pengelolaan kawasan.
"Mudah-mudahan cepat beres, supaya tidak ada kesan bangunan itu terbengkalai. Kalau memang mau dikelola pemerintah, ya cepat aja ditangani," harapnya.
Minggu, 11 Juli 2010
Sejarah dan Tradisi
Mentawai: Sejarah dan Tradisi Peninggalan Zaman Neolitikum
Tim Wacana Nusantara
8 July 2010
1. Gambaran Umum
Mentawai merupakan kepulauan yang terdiri dari beberapa puluh pulau. Pulau yang paling besar ada tiga, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai, dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau tersebut, pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sejak era otonomi daerah, pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatra Barat.
Peta Siberut
Jarak Kepulauan Mentawai dari Kota Padang kurang lebih 135 km melintasi Samudra Hindia yang luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu, transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca; apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat Kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi, kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana Kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai.
Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya memunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai “cagar bioster”. Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak 1992.
Kepulauan Mentawai merupakan pulau yang berada di gugusan pulau nonvulkanik yang letaknya memanjang di bagian paling barat Indonesia. Meski dari segi geografis merupakan dari suatu kelompok, namun kebudayaan tadisionalnya berbeda-beda. Simalur, pulau yang paling utara, penduduknya beragama islam dan sangat dipengaruhi kebudayaan Melayu. Pulau Nias yang berada di selatannya terkenal dengan bangunan batu besarnya (Megalitikum), serta kelebihan dalam bentuk desa-desanya, yang mencerminkan pola pemikiran hierarkis dengan menonjolkan keturunan; pola pemikiran ini sangat mewarnai sistem sosial dan agama, dan merupakan kekhasan kebudayaan zaman perunggu di Indonesia. Tetapi kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih merupakan wujud dari kebudayaan Neolitikum (Zaman Batu Muda).
Corak masyarakat yang mencerminkan kehidupan zaman Neolitikum telah menarik perhatian orang-orang. Mereka banyak yang heran karena orang Mentawai lebih banyak menampakan kemiripan dengan penduduk Kepulauan Hawaii, Tahiti, dan Polinesia. Kemiripan ini mungkin akan dapat dijelaskan secara historis. Kebudayaan Neolitik yang berkembang di Indonesia maupun di Kepulauan Polinesia sama-sama berasal dari daratan Asia Tenggara. Dari kawasan tersebut diperkirakan kebudayan dibawa oleh migrasi penduduk sehingga akhirnya berdiam di Indonesia dan Polinesia. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut tergolong ras Mongoloid, dengan berbagai dialek yang tergolong satu rumpun yaitu bahasa Austonesia. Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Salah satu pekakas yang penting bagi mereka adalah kapak batu dengan bentuk yang khas yaitu empat pesegi panjang (kapak persegi). Kapak ini ternyata masih dipakai di Polinesia sampai masa historis.
Sungai-sungai yang ada di daerah sekitar digunakan sebagai jalan transportasi untuk mengangkut hasil panen dengan menggunakan perahu lesung yang ramping dan lincah. Selain untuk membawa hasil panen lewat jalan sungai, perahu digunakan sebagai alat transportasi untuk pergi menangkap ikan. Jika mereka akan menangkap ikan, perahu lesung tersebut ditambahkan leh alat lain yaitu cadik, dengan tujuan untuk keseimbangan agar tidak terbalik.
2. Kosmologi
Orang Siberut tidak memunyai gambaran yang jelas tentang awal mula dunia tempat mereka hidup. Walau mereka memunyai gambaran tentang berbagai kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama dan dengan sepintas bercerita tentang terciptanya jagat raya, juga perihal asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun berbagai mitos tersebut tidak dapat menjabarkan gambaran menyeluruh; beberapa gejala tertentu ada yang penting, tetapi ada pula yang kelihatannya sepele dijelaskan seluk beluknya, sementara yang lain tetap dibiarkan kabur. Namun kenyataan ini bagi orang Mentawai tidak dirasakan mengganggu. Mitos-mitos tersebut bagi mereka bukan cerita dongeng, melainkan riwayat yang benar-benar pernah terjadi. Itu sudah memadai untuk dijadikan pegangan mereka dalam menghadapi keanekaragaman yang ada. Motos-mitos yang ada dianggap sebagai kejadian yang benar-benar sudah terjadi dan memberikan gambaran tentang terciptanya kehidupan di jagat raya. Dalam pemaparan selanjutnya akan tampak bahwa sehubungan dengannya, lingkungan manusia selalu menempati posisi sentral dan merupakan titik tolak dari keseluruhan kosmos.
Gambar monyet dengan biyawak yang terdapat pada papan rumah
Menurut pandangan orang-orang Siberut, pulau tempat kehidupan mereka merupakan titik pusat samudra dunia, dikelilingi pulau-pulau lainnya. Menurut cerita setempat, konon pada suatu hari, dari samudra muncul langit, muncul dari timur dari “tanah langit”. Langit tumbuh “bagaikan rebung”, lalu menyebar dan membentuk kubah langit. Tanah langit merupakan tempat tiggal orang-orang berkulit putih. Mereka memakan rebung langit yang selalu diolesi minyak agar tumbuh terus. Ketika langit sudah tercipta, muncullah matahari dan bulan. Keduanya mengembara secara keseluruhan, menyusur kubah langit ke arah barat. Tetapi di sana ada seekor buaya besar yang hidup di dalam laut. Buaya itu menelan matahari dan bulan, ketika keduanya turun di sebelah sana. Tidak lama kemudian benda-benda langit itu muncul kembali, tetapi kali ini mereka memperoleh pertolongan. Di pinggir sebelah barat, ada orang merah yang tinggal di situ; orang-orang itu dengan segera membuat bola-bola dengan umbi keladi. Begitu matahari dan bulan menghampiri tepi langit dan buaya mengangkangkan moncong untuk menelan keduanya, orang-orang merah tadi lantas melemparkan bola-bola yang mereka buat ke dalam kerongkongan buaya. Dengan begitu matahari dan bulan dapat kembali ke tanah langit lewat bagian dalam. Begitulah kejadian itu terus berulang sampai sekarang. Sedangkan di pinggir sebelah selatan dan utara, hanya angin saja yang ada. Selama musim badai (anggau) yang kira-kira terjadi dari Juli sampai September, angin utara atau angin barat merajalela; untuk kedua jenis angin ini tidak terdapat penamaan yang khusus. Sedangkan selama angin teduh, angin tenggara yang dinamakan kayaman bertiup sepoi-sepoi. Di suatu tempat di dalam samudra, hidup seekor kepiting raksasa yang setiap kali muncul ke permukaan, yaitu pada saat mencari makan. Kemunculannya mengakibatkan laut pasang surut. Apabila kepiting itu masuk lagi ke dalam laut maka air akan pasang.
Pada mulanya langit terletak dekat di atas bumi, begitu dekat, sehingga panas matahari membakar para wanita dan anak-anak yang hendak pergi mandi ke sungai. Untuk mendorong langit agar mundur menjauh, para pria memanahnya. Anak panah yang dilepaskan menembusi kubah langit. Lubang-lubang tembusan itu menjelma menjadi bintang-bintang. Akhirnya kubah langit menjadi bertambah lengkung, dan titik rembang mundur ke kedudukannya yang sekarang. Dalam suatu mitos lain, bintang-bintang merupakan anak-anak bulan. Mulanya matahari juga memunyai anak, berwujud matahari-matahari kecil yang sinarnya menghanguskan. Timbullah rasa kasihan bulan terhadap manusia. Bulan menyapu mulutnya dengan air hasil kunyahan kulit kelapa muda. Air itu berwarna merah darah. Ia pun mengatakan pada matahari bahwa ia baru saja memakan anak-anaknya, enak sekali rasanya. Matahari terkecoh, lalu memakan anak-anaknya. Tetapi begitu malam tiba dan hari menjadi gelap, bintang-bintang bermunculan. Saat itu barulah matahari sadar bahwa ia tertipu. Dengan perasaan berang, disambarnya parangnya, lalu ditebasnya bulan sehingga terbelah-belah. Itulah sebabnya mengapa bulan sampai sekarang muncul sepotong demi sepolong. Bulan membalas serangan matahari, tetapi tidak mampu membelahnya, melainkan hanya menyebabkan pinggirannya tergerupis-gerupis. Sampai sekarang matahari muncul dengan wujud seperti berjari-jari, tanpa garis bentuk yang jelas. Dan sejak itu matahari dan bulan tidak pernah lagi tampak seiring.
Menjelang akhir setiap bulan, bulan jatuh sakit. Ia menjadi kurus, lalu pergi ke ladang kunyitnya untuk mati di situ. Ulat-ulat yang bermunculan dari tubuhnya menjadi anak-anak ikan (simarou'), yang muncul dalam jumlah berlimpah ruah di Mentawai selama kuartal bulan yang terakhir. Akan tetapi, lambat laun bulan berhasil pulih dan muncul kembali, disambut dengan nyanyian jangkerik, yaitu anak-anak bulan di bumi saat ia terbit dan kemudian sewaktu terbenam. Kedudukan istimewa di antara benda-benda langit ditempati oleh gugusan bintang Bintang Tujuh (Yunani: Pleiades), yang dalam bahasa orang Siberut disebut Balu-balu (Delapan-delapan). Gugusan bintang itu mulanya merupakan delapan anak laki-laki bersaudara yatim-piatu. Karena jumlah mereka yang begitu besar dirasa merepotkan sanak saudara mereka, mereka memasukkan kedelapan abang adik itu ke dalam guci tempat persediaan makanan yang kemudian disumbat lalu dihanyutkan di sungai. Saudara laki-laki ibu mereka yang saat itu kebetulan sedang menangkap ikan di hilir, mengeluarkan lagi guci itu dari dalam sungai, lalu memelihara anak-anak itu karena merasa kasihan. Tetapi lama-kelamaan paman itu kewalahan. Ketika kedelapan abang adik itu berada di atas sebatang pohon buah-buahan, ia berusaha mengusir mereka dengan teriakan bahwa ada musuh di dekat situ. Ia mengira anak-anak itu akan lari. Anak-anak itu menyadari bahwa teriakan itu hanya siasat belaka. Mereka sedih sekali, sehingga pada suatu hari mereka membuat perahu lesung yang sangat besar (kalabba') di ladang sebuah jurang yang dalam di sisi timur Siberut, bekas robohan pohon yang ditebang untuk dijadikan perahu mereka. Mereka lalu pergi naik perahu itu. Sebelum berangkat, dari atas perahu mereka memberitahukan kepada bapak angkat mereka tentang ciri-ciri berbagai musim: jika ia melihat mereka di langit sebelah timur pada saat menjelang fajar, maka tibalah waktu untuk pergi menangkap rajungan (aggau) di pantai; tidak lama setelah itu buah-buahan di pohon akan ranum. Tetapi pada waktu bersamaan tiba pula musim badai, saat orang sebaiknya jangan turun ke laut; sedangkan jika mereka nampak di barat tidak lama setelah malam tiba, itu berarti sudah tiba musim laut tenang; itulah saat yang baik untuk pergi berburu penyu di laut. (Ini sesuai dengan kedua musim yang di Mentawai disebut aggau dan rura).
Setelah itu "Delapan-delapan" berangkat ke langit, dan di sana menjelma menjadi gugusan Bintang Tujuh. Tiga dari mereka sudah menikah sewaktu masih ada di bumi. Para istri mereka hendak ikut, namun tidak berhasil menyusul, lalu menjelma menjadi pending gugus Orion. Karena merasa kasihan, "Delapan-delapan" melemparkan rahang bawah seekor babi hutan untuk ketiga istri itu; itu kemudian menjadi Segi Tiga Aldebaran dan kelompok Hyades, yang letaknya antara Orion dan Pleiades. Perahu yang ditumpangi kedelapan abang adik itu sampai pada posisi yang lebih jauh dari mereka sendiri, dan sampai sekarang masih tampak di langit, sebagai Triangutum.
Asal mulanya hanya Pulau Siberut saja yang ada di tengah-tengah samudra raya. Tidak ada yang tahu, bagaimana terciptanya. Seorang dukun bernama Pageta Sabbau yang memiliki kekuatan gaib luar biasa, hidup di pulau itu. Pada suatu hari, anak laki-laki saudara perempuannya ingin menguji kemampuannya: ia memohon pada dukun itu agar menghanyutkan tanah bagian tenggara Pulau Siberut yang kelam. Pageta Sabbau mengambil lonceng dukunnya; sambil membunyikan lonceng itu ia menyanyikan sebuah lagu. Tanah mulai merengkah, lalu hanyut ke laut. Tetapi beberapa lama kemudian anak lonceng putus, dan gerakan tanah terhenti. Saat itu bagian tenggara dari Siberut baru saja terlepas; sampai sekarang masih ada selat sempit yang menunjukkan tempat tanah itu terlepas dari bagian pulau yang selebihnya. Melalu cara itulah tercipta tempat-tempat lainnya yang kini dihuni manusia. Gambaran yang ada mengenai tempat-tempat tersebut hanya samar-samar saja. Orang Siberut tahu bahwa di selatan terdapat pulau-pulau tempat tinggal orang Sakalagaan (yang barangkali barasal dari kata laggai, yang berarti "pemukiman", ada pula yang mengatakan bahwa asalnya dari kata eilagal, yaitu nama sejenis pohon). Pulau-pulau itu adalah Sipora (yang penghuninya menyebut diri mereka sendiri orang Sakalelegat, yang berasal dari kata lelegat, yang berarti "tempat", atau Sakobou dari kata kobou, "sumber air asin"), serta Pulau Pagai (penduduk kedua tempat itu juga menamakan diri mereka sendiri orang Sakalagaan). Di ketiga pulau di sebelah selatan itu penghuni Pulau Siberut disebut orang Sabirut (dari kata birut, "tikus"), mengacu pada nama sebuah sungai di bagian tenggara pulau itu.
Menurut tradisi , dari sanalah asal usul orang-orang yang pertama-tama datang untuk menghuni pulau-pulau sebelah selatan. Di sebelah utara pulau Siberut diketahui ada pulau-pulau Datu (Sabaigua), yang tampak dari pantai utara jika cuaca sedang cerah. Di Sumatra yang terletak di timurnya, tinggallah orang sasare, yaitu orang "dari jauh", nama itu pula yang diberikan pada para nelayan bersuku bangsa Minangkabau yang bermukim di pesisir timur Pulau Siberut. Dari tempat itu pada pagi hari yang cerah tampak puncak-puncak gunung api yang terdapat di Sumatra.
Hanya itulah gambaran konkrit yang ada tentang geografi. Pulau Nias saja, atau Pulau Enggano yang letaknya di selatan Kepulauan Mentawai, sudah tidak dikenal. Namun lewat perkenalan dengan orang-orang Jawa, dengan pedagang berbangsa Cina, orang-orang Belanda, Jepang, dan belakangan ini dengan para penebang kayu berbangsa Filipina, ditarik kesimpulan bahwa mestinya masih ada lagi pulau-pulau lain. Orang Mentawai juga sama sekali tidak memiliki gambaran tentang jarak ke berbagai tempat.
Di kubah langit diceritakan ada tempat-tempat pemukiman yang dihuni oleh para roh (saikamanua, dari kata manua, "langit"). Tidak terdapat cerita perihal asal mula mahluk-makhluk itu. Tetapi mereka berwujud manusia, dan dalam berbagai mitos diceritakan tentang hubungan antara mereka dengan alam kehidupan manusia: putri-putri dari langit menikah di bumi, manusia naik ke langit dengan memanjat sulur dan sebagainya. Makhluk penghuni langit yang dikenal namanya adalah Kombut, saudara laki-laki seorang gadis yang pindah ke tempat kediaman manusia. Kombut jengkel karenanya, lalu bertempat tinggal di bulan; sejak itu ia sibuk memintal tali yang panjang di sana, yang hendak dipergunakannya untuk memancing manusia sebagai pembalasan dendam. Tetapi istrinya, yang tinggal di bawah bulan, sering kali memotong tali itu dan dengannya menggagalkan niat jahat suaminya.
Roh -roh juga tinggal "didalam" (ka baga), yaitu di bagian-bagian bawah bumi. Yang terpenting di antara mereka ialah roh gempa Roh ilu mulanya manusia, seorang anak yatim piatu yang bersama saudara perempuannya dipelihara oleh para saudara laki-laki ayahnya yang sudah meninggal dunia. Pada suatu hari ia ikut dengan seluruh kerabatnya, pergi memetik buah-buahan. Tetapi anak laki-laki itu selalu hanya kebagian buah yang masih mentah, atau yang sudah busuk. Namun begitu ia memakan buah-buahan itu, dengan tiba-tiba semuanya menjadi ranum. Para kerabatnya terkejut melihat hal itu, lalu cepat-cepat lari naik perahu; kedua anak tadi mereka tinggalkan. Perjalanan kedua anak yang hendak pulang itu terhalang oleh sebuah sungai. Suatu roh air yang berwujud buaya merasa kasihan pada mereka. Roh itu menyatakan bahwa ia bibi mereka (saudara perempuan ayah), lalu membawa mereka ke seberang. Sesampai di sana diajarkannya anak yang laki-laki cara membuat uma serta upacara-upacara dan segala pantangan yang bertalian dengannya.
Di bawah bimbingan anak itu seluruh kerabat kemudian membuat sebuah rumah besar. Bagian tugas anak laki-laki itu dilakukan oleh buaya, sehingga hasilnya jauh melebihi yang lain-lainnya. Perasaan iri mereka timbul, dan ketika si anak atas desakan mereka masuk ke dalam lubang
3. Zaman Prasejarah
Berdasarkan penelitian antropologi, orang Mentawai paling berdekatan dengan suku bangsa di Sumatra yang belum islam. Hal ini diperkirakan bawah suku Mentawai berasal dari Sumatra. Mengenai bagaimana perpindahan tersebut terjadi, kita hanya bisa mengira-ngira. Orang Mentawai tidak mengenal teknologi pengerjaan logam, bercocok tanam padi, maupun mengerjakan kain tenun. Jadi, diperkirakan kebudayaan mereka lebih kuno dari kebudayaan zaman perunggu. Organisasi komunitas di Mentawai berdasarkan prinsip kesamaan derajat tidak mengenal kepala atau pemimpin; di sana juga tidak dikenal kebudayaan monumen-monumen bangunan batu besar (Megalitik), dengan demikian diperkirakan penduduk kepulauan Mentawai menganut kebudayaan Neolitikum.
Namun pada saat sekarang ini penduduk Mentawai tidak lagi membuat mata kapak dari batu, yang merupakan kebudayaan zaman Neolitikum. Mereka juga sudah tidak mengingat lagi kapan kebudayaan kapak batu digunakan. Sudah sejak lama mereka memperoleh peralatan dari besi, seperti parang dan mata kapak dari para pedagang yang ada di Sumatra lewat pertukaran dengan buah kelapa dan rotan. Hanya dalam mitos-mitos saja diceritakan bahwa silakokkoina, yaitu sebangsa raksasa yang jahat pada zaman dahulu kala menggunakan kapak bermata kulit lokan. Sejak 1970 di Pulau Siberut ditemukan sebuah mata kapak dari batu yang jenisnya diperkirakan memunyai kesamaan dengan varian lain yang ditemukan di kepulauan Indonesia dan diperkirakan dari zaman Neolitikum. Benda-benda yang dibuat di Mentawai pada zaman sekarang ini ternyata masih memiliki kemiripan dengan hasil kebudayaan zaman Neolitikum. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan bahwa kebudayaan Mentawai berakar sejak zaman Neolitikum awal di Asia Tenggara. Kepulauan Siberut sepertinya telah dihuni oleh manusia sebelum berkembangnya kebudayaan Megalitikum dan kebudayaan Dongson di Asia Tenggara.
Adanya kontak dengan kebudayaan perunggu terutama nampak dalam kesenian orang Mentawai. Kesan tentang bentuk-bentuk seni akan diperoleh dari ornamen-ornamen pada permukaan bentuk tabuh besar, ada yang memiliki ukuran sebesar tubuh manusia dan diberi nama nekara.
Pembandingan dengan bentuk ornamen yang dikenal di Mentawai dengan jelas memperlihatkan adanya keserupaan. Di sini pun terdapat semua bentuk ornamen bercorak spiral, namun yang membedakaan adalah bahan yang dihiasnya. Pada kebudayaan Dongson yang dihias adalah bahan perunggu, sedangkan pada kebudayaan Mentawai yang dihiasi adalah kayu yang diukir atau dihias dengan menggunakan warna hitam. Bentuk-bentuk yang ditemukan di Mentawai memberi kesan lebih lincah apabila dibandingkan dengan bentuk ornamen zaman perunggu yang tersusun memanjang dan diulang-ulang bentuk secara kaku. Bentuk lain dari kebudayaan Dongson yang ditemukan di Mentawai adalah pola corak yang disebut tumpal (segitiga berderet memanjang), pola kepangan (garis-garis berombak berjalinan), serta pola khas yang merupakan abstraksi dari gambar figuratif.
Pada hiasan benda-benda kebudayaan Dongson, kecuali pola ornamental, terdapat pula bentuk-bentuk realistik, seperti gambar kadal dan rusa. Bentuk seperti ini pun ditemukan di Mentawai. Tetapi bentuk yang paling mencolok adalah keserupaan pada gambar-gambar manusia, yang berwujud sosok dengan cawat sebelah depan dan belakang menjulur ke bawah, hiasan kepala tinggi, dan kedua lengan terangkat. Pada zaman dulu diperkirakan sudah terdapat kebudayaan menari. Hal ini diperkuat ketika dilakukan perbandingan dengan penari-penari yang ada di Mentawai dan ternyata semakin memperkuat dugaan tersebut. Tarian-tarian tersebut menirukan seekor burung: cara lengan terangkat. Hiasan kepala dan cawat yang digunakan dapat diperkirakan merupakan contoh-contoh gambar yang terpahat dalam relif gambar nekara-nekara tersebut. Cawat serupa yang dibuat dengan teknik serupa dengan menggunakan bahan tambahan kain yang dibawa dari Sumatra, hanya dikenakan oleh para dukun. Sebagai hiasan sering dipakai pola tumpal. Di Mentawai pun ada gambar-gambar penari dengan pola hias kepala dan lengan terangkat.
Dukun Sakuddei yang sedang menari dengan hiasan bercorak tumpal pada cawatnya.
Di Mentawai masih terdapat pengaruh alam pikiran dari zaman perunggu. Orang Mentawai mengatakan bahwa nenek moyang mereka naik perahu lesung di langit untuk menjemput roh orang-orang baru meninggal di dunia.
Keserupaan antara Dongson dan Mentawai dalam berbagai bentuk seni dan religius merupakan hal yang ganjil, apabila diingat perbedaan-perbedaan yang ada di antara kedua kebudayaan ini dari segi teknologi dan sosial. Bahkan dalam segi religius hanya terapat dalam motif-motif tertentu saja. Karakteristik kepercayaan orang Mentawai sama sekali lain coraknya dari yang dapat diperkirakan akan ditemukan dalam satu komunitas Dongson yang hierarkis, dan berdasarkan tradisi kebudayaan zaman perunggu yang sampai sekarang masih hidup di Indonesia.
Di Mentawai, figur-figur dari kayu terutama dibuat terutama dibuat dalam hubungan dengan pengayauan suatu figur untuk setiap korban dan dipajang di dalam rumah. Figur-figur tersebut dengan jelas menampakan wujud yang statis yang monumental, sangat disederhanakan, serta simetris. Menurut Heine-Geldern itu merupakan kekhasan dari zaman Neolitikum.
4. Pengaruh Hindu-Buddha dan Islam yang Tidak Mempan
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam, ternyata tidak membekas pada kebudayaan masyarakat Mentawai. Pola ornamennya ternyata masih ada sampai sekarang. Di Sumatra Barat, jelas sekali adanya pengaruh India; wujud berupa pola-pola sulur, yang bentuk tumbuh-tumbuhannya dengan kedaun-daunan dan bunga-bungaan jelas sekali berbeda dengan pola geometrik di Mentawai. Hanya pada suatu bentuk tarian dukun, yang memutari sebuah piring berisi sajian dengan gerakan-gerakan yang sudah ditentukan dengan ketat, hal ini diperkirakan memiliki persamaan dengan tarian piring di Sumatra Barat. Tampak pula pengaruh-pengaruh dari Sumatra, yang datangnya lebih kemudian.
Kontak antara satu daerah dengan daerah lain memang tidak bisa dihindarkan. Lebih lanjut terjadi kontak yang lumayan cukup intens antara orang-orang Sumatra dengan orang-orang Mentawai. Hal ini dilakukan berhubungan dengan masalah kebutuhan manusia sehari-hari, baik peralatan hidup maupun bahan pokok. Produk-produk didatangkan langsung dari Sumatra, seperti pekakas dari logam, bahan kelambu, panci besi serta manik-manik dari kaca. Namun, benda-benda yang didatangkan dari Sumatra tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang mendasar terhadap kebudayaan Mentawai, melainkan hanya pengganti hasil-hasil sendiri yang kalah baik mutunya.
Kebudayaan masyarakat Mentawai dengan teknologi yang bersahaja dan struktur sosial yang berdasarkan pada kesamaan derajat, berakar pada masa awal Neolitikum di Asia Tenggara. Pada watu bersamaan mungkin juga masuk pengaruh figuratif ke Mentawai. Hal ini tampak jelas pada beberpa perwujudan bentuk tertentu dalam kesenian. Tetapi, kecuali motif-motif tertentu dalam kepercayaan, kebudayaan selebihnya hampir tidak tekena oleh kebudayaan zaman perunggu. Hubungan yang terjadi kemudian sebelum kedatangan orang-orang Eropa, hanya terbatas pada peralatan tertentu saja, dan itu tidak memengaruhi kebudayaan secara signifikan.
Menurut tradisi silsilah orang-orang Mentawai, kawasan yang pertama-tama dihuni terleka di Samalalu, di bagian barat pulau Siberut. Segenap clan asli penduduk Mentawai berjumlah kurang lebih dua puluh lima menyebutkan bahwa mereka berasal dari tempat pemukiman awal itu. Ada yang menarik dari clan. Mereka ternyata memiliki mitos-mitos tersendiri tentang nenek moyang mereka, namun semuanya mengandung tema-tema dasar tertentu yang serupa. Dalam setiap mitos, proses perpindahan selalu di dahului oleh sengketa, yang dalam berbagai clan diakatakan adalah mengenai buah sipeu, yang menyerupai buah kesemek. Ada dua orang laki-laki bersaudara, masing-masing memiliki batang pohon sipeu. Pohon saudara yang tua lebih kecil buahnya apabila dibandingkan dengan adiknya. Kakaknya memetik buah dari pohon adiknya, ditukarkan dengan hasil buah pohonnya yang memiliki ukuran buah lebih kecil. Tetapi adiknya yang memiliki pohon dengan buah lebih besar, begitu melihat bekas buahnya jatuh di tanah yang lunak, langsung mengetahuinya bahwa dia ditipu. Ia marah sekali lalu dia pergi mencai tempat lain untuk bermukim.
Mitos lain menceritakan tentang anak-anak dari sebuah uma, yang bermain di tepi sungai. Mereka bermain lempar-lemparam. Mula-mula mereka main lempar-lemparan lumpur lalu kemudian dengan lembing batang gelagah. Salah seorang dari mereka secara diam-diam memasukkan duri kedalam lembingnya dan akhirnya melukai salah seorang anak tersebut, yang akhirnya menyebabkan kematian. Ayah anak itu mengancam akan membalas kematian anaknya dengan lembing yang sebenarnya. Mendengar ancaman tersebut, keluar anak yang bersalah lari dan mendirikan pemukiman di daerah lain. Demikianlah, lambat laun lembah-lembah di daerah tersebut dapat dihuni. Pendatang baru mencari lahan yang belum ada pemiliknya; di tempat tersebut mereka membangun tenda-tenda pada pepohonan dan wilayah temuan tersebut dinyatakan sebagai miliknya. Mereka bergotong royong membangun wilayah tersebut dengan menanam berbagai sumber makanan.
5. Struktur Sosial
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, di mana mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga uma yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan, dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walau telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma memunyai kedudukan yang sama kecuali sikerei (dukun) yang memunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Di sebagian tempat Kepulauan Mentawai, pengaruh modern membawa perubahan besar dalam kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan rumah panjang (uma) masih dapat ditemukan di daerah Siberut, pulau terbesar di antara gugusan pulau tersebut. Satu uma terdiri dari beberapa keluarga. Di dalam rumah panjang tersebut mereka membentuk satuan sosial terpisah yang juga disebut uma yang menjadi dasar kelompok bangunan masyarakat Mentawai. Hubungan antartetangga uma menjadi tidak jelas. Setiap uma menjadi milik dari salah satu dari banyak marga yang tersebar di antara pulau-pulau dan istri harus dicari dari marga lain dan lebih baik berasal adri uma luar daerah. Persekutuan terjadi akibat hal ini, tetapi hubungan baik antar tetangga uma secara terus-menerus diganggu oleh persaingan dan kecurigaan yang mengancam perdamaian dan sering membawa ke arah kekerasan.
Uma di pedalaman
Secara tradisional uma memunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama pemerintahan Orde Baru fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era Reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu laggai.
6. Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam memunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Anggota suku Sakuddei mengadakan upacara.
Upacara agama yang dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat uma dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.
Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun. Bagaimana pun, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumber daya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai. Dalam melakukan kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma, maka biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll.) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan atau upacara.
Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu, pisang, dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu, dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, monyet, dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari kolam atau sungai.
Kepustakaan
Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh; Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka
Soebadyo, Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
….. Sosial Budaya Masyarakat Mentawai . [Online]. Terdapat di. http://tamannasionalsiberut.org/sosial-budaya-masyarakat-mentawai.html. [30/06/2010]
…...Kebudayaan Mentawai Tidak Mengenal Logam?. [Online]. Terdapat di.
http://uun-halimah.blogspot.com/2007/11/kebudayaan-mentawai-tidak-mengenal.html. [30/06/2010]
Tim Wacana Nusantara
8 July 2010
1. Gambaran Umum
Mentawai merupakan kepulauan yang terdiri dari beberapa puluh pulau. Pulau yang paling besar ada tiga, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai, dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau tersebut, pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sejak era otonomi daerah, pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatra Barat.
Peta Siberut
Jarak Kepulauan Mentawai dari Kota Padang kurang lebih 135 km melintasi Samudra Hindia yang luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu, transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca; apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat Kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi, kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana Kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai.
Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya memunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai “cagar bioster”. Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak 1992.
Kepulauan Mentawai merupakan pulau yang berada di gugusan pulau nonvulkanik yang letaknya memanjang di bagian paling barat Indonesia. Meski dari segi geografis merupakan dari suatu kelompok, namun kebudayaan tadisionalnya berbeda-beda. Simalur, pulau yang paling utara, penduduknya beragama islam dan sangat dipengaruhi kebudayaan Melayu. Pulau Nias yang berada di selatannya terkenal dengan bangunan batu besarnya (Megalitikum), serta kelebihan dalam bentuk desa-desanya, yang mencerminkan pola pemikiran hierarkis dengan menonjolkan keturunan; pola pemikiran ini sangat mewarnai sistem sosial dan agama, dan merupakan kekhasan kebudayaan zaman perunggu di Indonesia. Tetapi kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih merupakan wujud dari kebudayaan Neolitikum (Zaman Batu Muda).
Corak masyarakat yang mencerminkan kehidupan zaman Neolitikum telah menarik perhatian orang-orang. Mereka banyak yang heran karena orang Mentawai lebih banyak menampakan kemiripan dengan penduduk Kepulauan Hawaii, Tahiti, dan Polinesia. Kemiripan ini mungkin akan dapat dijelaskan secara historis. Kebudayaan Neolitik yang berkembang di Indonesia maupun di Kepulauan Polinesia sama-sama berasal dari daratan Asia Tenggara. Dari kawasan tersebut diperkirakan kebudayan dibawa oleh migrasi penduduk sehingga akhirnya berdiam di Indonesia dan Polinesia. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut tergolong ras Mongoloid, dengan berbagai dialek yang tergolong satu rumpun yaitu bahasa Austonesia. Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Salah satu pekakas yang penting bagi mereka adalah kapak batu dengan bentuk yang khas yaitu empat pesegi panjang (kapak persegi). Kapak ini ternyata masih dipakai di Polinesia sampai masa historis.
Sungai-sungai yang ada di daerah sekitar digunakan sebagai jalan transportasi untuk mengangkut hasil panen dengan menggunakan perahu lesung yang ramping dan lincah. Selain untuk membawa hasil panen lewat jalan sungai, perahu digunakan sebagai alat transportasi untuk pergi menangkap ikan. Jika mereka akan menangkap ikan, perahu lesung tersebut ditambahkan leh alat lain yaitu cadik, dengan tujuan untuk keseimbangan agar tidak terbalik.
2. Kosmologi
Orang Siberut tidak memunyai gambaran yang jelas tentang awal mula dunia tempat mereka hidup. Walau mereka memunyai gambaran tentang berbagai kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama dan dengan sepintas bercerita tentang terciptanya jagat raya, juga perihal asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun berbagai mitos tersebut tidak dapat menjabarkan gambaran menyeluruh; beberapa gejala tertentu ada yang penting, tetapi ada pula yang kelihatannya sepele dijelaskan seluk beluknya, sementara yang lain tetap dibiarkan kabur. Namun kenyataan ini bagi orang Mentawai tidak dirasakan mengganggu. Mitos-mitos tersebut bagi mereka bukan cerita dongeng, melainkan riwayat yang benar-benar pernah terjadi. Itu sudah memadai untuk dijadikan pegangan mereka dalam menghadapi keanekaragaman yang ada. Motos-mitos yang ada dianggap sebagai kejadian yang benar-benar sudah terjadi dan memberikan gambaran tentang terciptanya kehidupan di jagat raya. Dalam pemaparan selanjutnya akan tampak bahwa sehubungan dengannya, lingkungan manusia selalu menempati posisi sentral dan merupakan titik tolak dari keseluruhan kosmos.
Gambar monyet dengan biyawak yang terdapat pada papan rumah
Menurut pandangan orang-orang Siberut, pulau tempat kehidupan mereka merupakan titik pusat samudra dunia, dikelilingi pulau-pulau lainnya. Menurut cerita setempat, konon pada suatu hari, dari samudra muncul langit, muncul dari timur dari “tanah langit”. Langit tumbuh “bagaikan rebung”, lalu menyebar dan membentuk kubah langit. Tanah langit merupakan tempat tiggal orang-orang berkulit putih. Mereka memakan rebung langit yang selalu diolesi minyak agar tumbuh terus. Ketika langit sudah tercipta, muncullah matahari dan bulan. Keduanya mengembara secara keseluruhan, menyusur kubah langit ke arah barat. Tetapi di sana ada seekor buaya besar yang hidup di dalam laut. Buaya itu menelan matahari dan bulan, ketika keduanya turun di sebelah sana. Tidak lama kemudian benda-benda langit itu muncul kembali, tetapi kali ini mereka memperoleh pertolongan. Di pinggir sebelah barat, ada orang merah yang tinggal di situ; orang-orang itu dengan segera membuat bola-bola dengan umbi keladi. Begitu matahari dan bulan menghampiri tepi langit dan buaya mengangkangkan moncong untuk menelan keduanya, orang-orang merah tadi lantas melemparkan bola-bola yang mereka buat ke dalam kerongkongan buaya. Dengan begitu matahari dan bulan dapat kembali ke tanah langit lewat bagian dalam. Begitulah kejadian itu terus berulang sampai sekarang. Sedangkan di pinggir sebelah selatan dan utara, hanya angin saja yang ada. Selama musim badai (anggau) yang kira-kira terjadi dari Juli sampai September, angin utara atau angin barat merajalela; untuk kedua jenis angin ini tidak terdapat penamaan yang khusus. Sedangkan selama angin teduh, angin tenggara yang dinamakan kayaman bertiup sepoi-sepoi. Di suatu tempat di dalam samudra, hidup seekor kepiting raksasa yang setiap kali muncul ke permukaan, yaitu pada saat mencari makan. Kemunculannya mengakibatkan laut pasang surut. Apabila kepiting itu masuk lagi ke dalam laut maka air akan pasang.
Pada mulanya langit terletak dekat di atas bumi, begitu dekat, sehingga panas matahari membakar para wanita dan anak-anak yang hendak pergi mandi ke sungai. Untuk mendorong langit agar mundur menjauh, para pria memanahnya. Anak panah yang dilepaskan menembusi kubah langit. Lubang-lubang tembusan itu menjelma menjadi bintang-bintang. Akhirnya kubah langit menjadi bertambah lengkung, dan titik rembang mundur ke kedudukannya yang sekarang. Dalam suatu mitos lain, bintang-bintang merupakan anak-anak bulan. Mulanya matahari juga memunyai anak, berwujud matahari-matahari kecil yang sinarnya menghanguskan. Timbullah rasa kasihan bulan terhadap manusia. Bulan menyapu mulutnya dengan air hasil kunyahan kulit kelapa muda. Air itu berwarna merah darah. Ia pun mengatakan pada matahari bahwa ia baru saja memakan anak-anaknya, enak sekali rasanya. Matahari terkecoh, lalu memakan anak-anaknya. Tetapi begitu malam tiba dan hari menjadi gelap, bintang-bintang bermunculan. Saat itu barulah matahari sadar bahwa ia tertipu. Dengan perasaan berang, disambarnya parangnya, lalu ditebasnya bulan sehingga terbelah-belah. Itulah sebabnya mengapa bulan sampai sekarang muncul sepotong demi sepolong. Bulan membalas serangan matahari, tetapi tidak mampu membelahnya, melainkan hanya menyebabkan pinggirannya tergerupis-gerupis. Sampai sekarang matahari muncul dengan wujud seperti berjari-jari, tanpa garis bentuk yang jelas. Dan sejak itu matahari dan bulan tidak pernah lagi tampak seiring.
Menjelang akhir setiap bulan, bulan jatuh sakit. Ia menjadi kurus, lalu pergi ke ladang kunyitnya untuk mati di situ. Ulat-ulat yang bermunculan dari tubuhnya menjadi anak-anak ikan (simarou'), yang muncul dalam jumlah berlimpah ruah di Mentawai selama kuartal bulan yang terakhir. Akan tetapi, lambat laun bulan berhasil pulih dan muncul kembali, disambut dengan nyanyian jangkerik, yaitu anak-anak bulan di bumi saat ia terbit dan kemudian sewaktu terbenam. Kedudukan istimewa di antara benda-benda langit ditempati oleh gugusan bintang Bintang Tujuh (Yunani: Pleiades), yang dalam bahasa orang Siberut disebut Balu-balu (Delapan-delapan). Gugusan bintang itu mulanya merupakan delapan anak laki-laki bersaudara yatim-piatu. Karena jumlah mereka yang begitu besar dirasa merepotkan sanak saudara mereka, mereka memasukkan kedelapan abang adik itu ke dalam guci tempat persediaan makanan yang kemudian disumbat lalu dihanyutkan di sungai. Saudara laki-laki ibu mereka yang saat itu kebetulan sedang menangkap ikan di hilir, mengeluarkan lagi guci itu dari dalam sungai, lalu memelihara anak-anak itu karena merasa kasihan. Tetapi lama-kelamaan paman itu kewalahan. Ketika kedelapan abang adik itu berada di atas sebatang pohon buah-buahan, ia berusaha mengusir mereka dengan teriakan bahwa ada musuh di dekat situ. Ia mengira anak-anak itu akan lari. Anak-anak itu menyadari bahwa teriakan itu hanya siasat belaka. Mereka sedih sekali, sehingga pada suatu hari mereka membuat perahu lesung yang sangat besar (kalabba') di ladang sebuah jurang yang dalam di sisi timur Siberut, bekas robohan pohon yang ditebang untuk dijadikan perahu mereka. Mereka lalu pergi naik perahu itu. Sebelum berangkat, dari atas perahu mereka memberitahukan kepada bapak angkat mereka tentang ciri-ciri berbagai musim: jika ia melihat mereka di langit sebelah timur pada saat menjelang fajar, maka tibalah waktu untuk pergi menangkap rajungan (aggau) di pantai; tidak lama setelah itu buah-buahan di pohon akan ranum. Tetapi pada waktu bersamaan tiba pula musim badai, saat orang sebaiknya jangan turun ke laut; sedangkan jika mereka nampak di barat tidak lama setelah malam tiba, itu berarti sudah tiba musim laut tenang; itulah saat yang baik untuk pergi berburu penyu di laut. (Ini sesuai dengan kedua musim yang di Mentawai disebut aggau dan rura).
Setelah itu "Delapan-delapan" berangkat ke langit, dan di sana menjelma menjadi gugusan Bintang Tujuh. Tiga dari mereka sudah menikah sewaktu masih ada di bumi. Para istri mereka hendak ikut, namun tidak berhasil menyusul, lalu menjelma menjadi pending gugus Orion. Karena merasa kasihan, "Delapan-delapan" melemparkan rahang bawah seekor babi hutan untuk ketiga istri itu; itu kemudian menjadi Segi Tiga Aldebaran dan kelompok Hyades, yang letaknya antara Orion dan Pleiades. Perahu yang ditumpangi kedelapan abang adik itu sampai pada posisi yang lebih jauh dari mereka sendiri, dan sampai sekarang masih tampak di langit, sebagai Triangutum.
Asal mulanya hanya Pulau Siberut saja yang ada di tengah-tengah samudra raya. Tidak ada yang tahu, bagaimana terciptanya. Seorang dukun bernama Pageta Sabbau yang memiliki kekuatan gaib luar biasa, hidup di pulau itu. Pada suatu hari, anak laki-laki saudara perempuannya ingin menguji kemampuannya: ia memohon pada dukun itu agar menghanyutkan tanah bagian tenggara Pulau Siberut yang kelam. Pageta Sabbau mengambil lonceng dukunnya; sambil membunyikan lonceng itu ia menyanyikan sebuah lagu. Tanah mulai merengkah, lalu hanyut ke laut. Tetapi beberapa lama kemudian anak lonceng putus, dan gerakan tanah terhenti. Saat itu bagian tenggara dari Siberut baru saja terlepas; sampai sekarang masih ada selat sempit yang menunjukkan tempat tanah itu terlepas dari bagian pulau yang selebihnya. Melalu cara itulah tercipta tempat-tempat lainnya yang kini dihuni manusia. Gambaran yang ada mengenai tempat-tempat tersebut hanya samar-samar saja. Orang Siberut tahu bahwa di selatan terdapat pulau-pulau tempat tinggal orang Sakalagaan (yang barangkali barasal dari kata laggai, yang berarti "pemukiman", ada pula yang mengatakan bahwa asalnya dari kata eilagal, yaitu nama sejenis pohon). Pulau-pulau itu adalah Sipora (yang penghuninya menyebut diri mereka sendiri orang Sakalelegat, yang berasal dari kata lelegat, yang berarti "tempat", atau Sakobou dari kata kobou, "sumber air asin"), serta Pulau Pagai (penduduk kedua tempat itu juga menamakan diri mereka sendiri orang Sakalagaan). Di ketiga pulau di sebelah selatan itu penghuni Pulau Siberut disebut orang Sabirut (dari kata birut, "tikus"), mengacu pada nama sebuah sungai di bagian tenggara pulau itu.
Menurut tradisi , dari sanalah asal usul orang-orang yang pertama-tama datang untuk menghuni pulau-pulau sebelah selatan. Di sebelah utara pulau Siberut diketahui ada pulau-pulau Datu (Sabaigua), yang tampak dari pantai utara jika cuaca sedang cerah. Di Sumatra yang terletak di timurnya, tinggallah orang sasare, yaitu orang "dari jauh", nama itu pula yang diberikan pada para nelayan bersuku bangsa Minangkabau yang bermukim di pesisir timur Pulau Siberut. Dari tempat itu pada pagi hari yang cerah tampak puncak-puncak gunung api yang terdapat di Sumatra.
Hanya itulah gambaran konkrit yang ada tentang geografi. Pulau Nias saja, atau Pulau Enggano yang letaknya di selatan Kepulauan Mentawai, sudah tidak dikenal. Namun lewat perkenalan dengan orang-orang Jawa, dengan pedagang berbangsa Cina, orang-orang Belanda, Jepang, dan belakangan ini dengan para penebang kayu berbangsa Filipina, ditarik kesimpulan bahwa mestinya masih ada lagi pulau-pulau lain. Orang Mentawai juga sama sekali tidak memiliki gambaran tentang jarak ke berbagai tempat.
Di kubah langit diceritakan ada tempat-tempat pemukiman yang dihuni oleh para roh (saikamanua, dari kata manua, "langit"). Tidak terdapat cerita perihal asal mula mahluk-makhluk itu. Tetapi mereka berwujud manusia, dan dalam berbagai mitos diceritakan tentang hubungan antara mereka dengan alam kehidupan manusia: putri-putri dari langit menikah di bumi, manusia naik ke langit dengan memanjat sulur dan sebagainya. Makhluk penghuni langit yang dikenal namanya adalah Kombut, saudara laki-laki seorang gadis yang pindah ke tempat kediaman manusia. Kombut jengkel karenanya, lalu bertempat tinggal di bulan; sejak itu ia sibuk memintal tali yang panjang di sana, yang hendak dipergunakannya untuk memancing manusia sebagai pembalasan dendam. Tetapi istrinya, yang tinggal di bawah bulan, sering kali memotong tali itu dan dengannya menggagalkan niat jahat suaminya.
Roh -roh juga tinggal "didalam" (ka baga), yaitu di bagian-bagian bawah bumi. Yang terpenting di antara mereka ialah roh gempa Roh ilu mulanya manusia, seorang anak yatim piatu yang bersama saudara perempuannya dipelihara oleh para saudara laki-laki ayahnya yang sudah meninggal dunia. Pada suatu hari ia ikut dengan seluruh kerabatnya, pergi memetik buah-buahan. Tetapi anak laki-laki itu selalu hanya kebagian buah yang masih mentah, atau yang sudah busuk. Namun begitu ia memakan buah-buahan itu, dengan tiba-tiba semuanya menjadi ranum. Para kerabatnya terkejut melihat hal itu, lalu cepat-cepat lari naik perahu; kedua anak tadi mereka tinggalkan. Perjalanan kedua anak yang hendak pulang itu terhalang oleh sebuah sungai. Suatu roh air yang berwujud buaya merasa kasihan pada mereka. Roh itu menyatakan bahwa ia bibi mereka (saudara perempuan ayah), lalu membawa mereka ke seberang. Sesampai di sana diajarkannya anak yang laki-laki cara membuat uma serta upacara-upacara dan segala pantangan yang bertalian dengannya.
Di bawah bimbingan anak itu seluruh kerabat kemudian membuat sebuah rumah besar. Bagian tugas anak laki-laki itu dilakukan oleh buaya, sehingga hasilnya jauh melebihi yang lain-lainnya. Perasaan iri mereka timbul, dan ketika si anak atas desakan mereka masuk ke dalam lubang
3. Zaman Prasejarah
Berdasarkan penelitian antropologi, orang Mentawai paling berdekatan dengan suku bangsa di Sumatra yang belum islam. Hal ini diperkirakan bawah suku Mentawai berasal dari Sumatra. Mengenai bagaimana perpindahan tersebut terjadi, kita hanya bisa mengira-ngira. Orang Mentawai tidak mengenal teknologi pengerjaan logam, bercocok tanam padi, maupun mengerjakan kain tenun. Jadi, diperkirakan kebudayaan mereka lebih kuno dari kebudayaan zaman perunggu. Organisasi komunitas di Mentawai berdasarkan prinsip kesamaan derajat tidak mengenal kepala atau pemimpin; di sana juga tidak dikenal kebudayaan monumen-monumen bangunan batu besar (Megalitik), dengan demikian diperkirakan penduduk kepulauan Mentawai menganut kebudayaan Neolitikum.
Namun pada saat sekarang ini penduduk Mentawai tidak lagi membuat mata kapak dari batu, yang merupakan kebudayaan zaman Neolitikum. Mereka juga sudah tidak mengingat lagi kapan kebudayaan kapak batu digunakan. Sudah sejak lama mereka memperoleh peralatan dari besi, seperti parang dan mata kapak dari para pedagang yang ada di Sumatra lewat pertukaran dengan buah kelapa dan rotan. Hanya dalam mitos-mitos saja diceritakan bahwa silakokkoina, yaitu sebangsa raksasa yang jahat pada zaman dahulu kala menggunakan kapak bermata kulit lokan. Sejak 1970 di Pulau Siberut ditemukan sebuah mata kapak dari batu yang jenisnya diperkirakan memunyai kesamaan dengan varian lain yang ditemukan di kepulauan Indonesia dan diperkirakan dari zaman Neolitikum. Benda-benda yang dibuat di Mentawai pada zaman sekarang ini ternyata masih memiliki kemiripan dengan hasil kebudayaan zaman Neolitikum. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan bahwa kebudayaan Mentawai berakar sejak zaman Neolitikum awal di Asia Tenggara. Kepulauan Siberut sepertinya telah dihuni oleh manusia sebelum berkembangnya kebudayaan Megalitikum dan kebudayaan Dongson di Asia Tenggara.
Adanya kontak dengan kebudayaan perunggu terutama nampak dalam kesenian orang Mentawai. Kesan tentang bentuk-bentuk seni akan diperoleh dari ornamen-ornamen pada permukaan bentuk tabuh besar, ada yang memiliki ukuran sebesar tubuh manusia dan diberi nama nekara.
Pembandingan dengan bentuk ornamen yang dikenal di Mentawai dengan jelas memperlihatkan adanya keserupaan. Di sini pun terdapat semua bentuk ornamen bercorak spiral, namun yang membedakaan adalah bahan yang dihiasnya. Pada kebudayaan Dongson yang dihias adalah bahan perunggu, sedangkan pada kebudayaan Mentawai yang dihiasi adalah kayu yang diukir atau dihias dengan menggunakan warna hitam. Bentuk-bentuk yang ditemukan di Mentawai memberi kesan lebih lincah apabila dibandingkan dengan bentuk ornamen zaman perunggu yang tersusun memanjang dan diulang-ulang bentuk secara kaku. Bentuk lain dari kebudayaan Dongson yang ditemukan di Mentawai adalah pola corak yang disebut tumpal (segitiga berderet memanjang), pola kepangan (garis-garis berombak berjalinan), serta pola khas yang merupakan abstraksi dari gambar figuratif.
Pada hiasan benda-benda kebudayaan Dongson, kecuali pola ornamental, terdapat pula bentuk-bentuk realistik, seperti gambar kadal dan rusa. Bentuk seperti ini pun ditemukan di Mentawai. Tetapi bentuk yang paling mencolok adalah keserupaan pada gambar-gambar manusia, yang berwujud sosok dengan cawat sebelah depan dan belakang menjulur ke bawah, hiasan kepala tinggi, dan kedua lengan terangkat. Pada zaman dulu diperkirakan sudah terdapat kebudayaan menari. Hal ini diperkuat ketika dilakukan perbandingan dengan penari-penari yang ada di Mentawai dan ternyata semakin memperkuat dugaan tersebut. Tarian-tarian tersebut menirukan seekor burung: cara lengan terangkat. Hiasan kepala dan cawat yang digunakan dapat diperkirakan merupakan contoh-contoh gambar yang terpahat dalam relif gambar nekara-nekara tersebut. Cawat serupa yang dibuat dengan teknik serupa dengan menggunakan bahan tambahan kain yang dibawa dari Sumatra, hanya dikenakan oleh para dukun. Sebagai hiasan sering dipakai pola tumpal. Di Mentawai pun ada gambar-gambar penari dengan pola hias kepala dan lengan terangkat.
Dukun Sakuddei yang sedang menari dengan hiasan bercorak tumpal pada cawatnya.
Di Mentawai masih terdapat pengaruh alam pikiran dari zaman perunggu. Orang Mentawai mengatakan bahwa nenek moyang mereka naik perahu lesung di langit untuk menjemput roh orang-orang baru meninggal di dunia.
Keserupaan antara Dongson dan Mentawai dalam berbagai bentuk seni dan religius merupakan hal yang ganjil, apabila diingat perbedaan-perbedaan yang ada di antara kedua kebudayaan ini dari segi teknologi dan sosial. Bahkan dalam segi religius hanya terapat dalam motif-motif tertentu saja. Karakteristik kepercayaan orang Mentawai sama sekali lain coraknya dari yang dapat diperkirakan akan ditemukan dalam satu komunitas Dongson yang hierarkis, dan berdasarkan tradisi kebudayaan zaman perunggu yang sampai sekarang masih hidup di Indonesia.
Di Mentawai, figur-figur dari kayu terutama dibuat terutama dibuat dalam hubungan dengan pengayauan suatu figur untuk setiap korban dan dipajang di dalam rumah. Figur-figur tersebut dengan jelas menampakan wujud yang statis yang monumental, sangat disederhanakan, serta simetris. Menurut Heine-Geldern itu merupakan kekhasan dari zaman Neolitikum.
4. Pengaruh Hindu-Buddha dan Islam yang Tidak Mempan
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam, ternyata tidak membekas pada kebudayaan masyarakat Mentawai. Pola ornamennya ternyata masih ada sampai sekarang. Di Sumatra Barat, jelas sekali adanya pengaruh India; wujud berupa pola-pola sulur, yang bentuk tumbuh-tumbuhannya dengan kedaun-daunan dan bunga-bungaan jelas sekali berbeda dengan pola geometrik di Mentawai. Hanya pada suatu bentuk tarian dukun, yang memutari sebuah piring berisi sajian dengan gerakan-gerakan yang sudah ditentukan dengan ketat, hal ini diperkirakan memiliki persamaan dengan tarian piring di Sumatra Barat. Tampak pula pengaruh-pengaruh dari Sumatra, yang datangnya lebih kemudian.
Kontak antara satu daerah dengan daerah lain memang tidak bisa dihindarkan. Lebih lanjut terjadi kontak yang lumayan cukup intens antara orang-orang Sumatra dengan orang-orang Mentawai. Hal ini dilakukan berhubungan dengan masalah kebutuhan manusia sehari-hari, baik peralatan hidup maupun bahan pokok. Produk-produk didatangkan langsung dari Sumatra, seperti pekakas dari logam, bahan kelambu, panci besi serta manik-manik dari kaca. Namun, benda-benda yang didatangkan dari Sumatra tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang mendasar terhadap kebudayaan Mentawai, melainkan hanya pengganti hasil-hasil sendiri yang kalah baik mutunya.
Kebudayaan masyarakat Mentawai dengan teknologi yang bersahaja dan struktur sosial yang berdasarkan pada kesamaan derajat, berakar pada masa awal Neolitikum di Asia Tenggara. Pada watu bersamaan mungkin juga masuk pengaruh figuratif ke Mentawai. Hal ini tampak jelas pada beberpa perwujudan bentuk tertentu dalam kesenian. Tetapi, kecuali motif-motif tertentu dalam kepercayaan, kebudayaan selebihnya hampir tidak tekena oleh kebudayaan zaman perunggu. Hubungan yang terjadi kemudian sebelum kedatangan orang-orang Eropa, hanya terbatas pada peralatan tertentu saja, dan itu tidak memengaruhi kebudayaan secara signifikan.
Menurut tradisi silsilah orang-orang Mentawai, kawasan yang pertama-tama dihuni terleka di Samalalu, di bagian barat pulau Siberut. Segenap clan asli penduduk Mentawai berjumlah kurang lebih dua puluh lima menyebutkan bahwa mereka berasal dari tempat pemukiman awal itu. Ada yang menarik dari clan. Mereka ternyata memiliki mitos-mitos tersendiri tentang nenek moyang mereka, namun semuanya mengandung tema-tema dasar tertentu yang serupa. Dalam setiap mitos, proses perpindahan selalu di dahului oleh sengketa, yang dalam berbagai clan diakatakan adalah mengenai buah sipeu, yang menyerupai buah kesemek. Ada dua orang laki-laki bersaudara, masing-masing memiliki batang pohon sipeu. Pohon saudara yang tua lebih kecil buahnya apabila dibandingkan dengan adiknya. Kakaknya memetik buah dari pohon adiknya, ditukarkan dengan hasil buah pohonnya yang memiliki ukuran buah lebih kecil. Tetapi adiknya yang memiliki pohon dengan buah lebih besar, begitu melihat bekas buahnya jatuh di tanah yang lunak, langsung mengetahuinya bahwa dia ditipu. Ia marah sekali lalu dia pergi mencai tempat lain untuk bermukim.
Mitos lain menceritakan tentang anak-anak dari sebuah uma, yang bermain di tepi sungai. Mereka bermain lempar-lemparam. Mula-mula mereka main lempar-lemparan lumpur lalu kemudian dengan lembing batang gelagah. Salah seorang dari mereka secara diam-diam memasukkan duri kedalam lembingnya dan akhirnya melukai salah seorang anak tersebut, yang akhirnya menyebabkan kematian. Ayah anak itu mengancam akan membalas kematian anaknya dengan lembing yang sebenarnya. Mendengar ancaman tersebut, keluar anak yang bersalah lari dan mendirikan pemukiman di daerah lain. Demikianlah, lambat laun lembah-lembah di daerah tersebut dapat dihuni. Pendatang baru mencari lahan yang belum ada pemiliknya; di tempat tersebut mereka membangun tenda-tenda pada pepohonan dan wilayah temuan tersebut dinyatakan sebagai miliknya. Mereka bergotong royong membangun wilayah tersebut dengan menanam berbagai sumber makanan.
5. Struktur Sosial
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, di mana mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga uma yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan, dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walau telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma memunyai kedudukan yang sama kecuali sikerei (dukun) yang memunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Di sebagian tempat Kepulauan Mentawai, pengaruh modern membawa perubahan besar dalam kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan rumah panjang (uma) masih dapat ditemukan di daerah Siberut, pulau terbesar di antara gugusan pulau tersebut. Satu uma terdiri dari beberapa keluarga. Di dalam rumah panjang tersebut mereka membentuk satuan sosial terpisah yang juga disebut uma yang menjadi dasar kelompok bangunan masyarakat Mentawai. Hubungan antartetangga uma menjadi tidak jelas. Setiap uma menjadi milik dari salah satu dari banyak marga yang tersebar di antara pulau-pulau dan istri harus dicari dari marga lain dan lebih baik berasal adri uma luar daerah. Persekutuan terjadi akibat hal ini, tetapi hubungan baik antar tetangga uma secara terus-menerus diganggu oleh persaingan dan kecurigaan yang mengancam perdamaian dan sering membawa ke arah kekerasan.
Uma di pedalaman
Secara tradisional uma memunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama pemerintahan Orde Baru fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era Reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu laggai.
6. Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam memunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Anggota suku Sakuddei mengadakan upacara.
Upacara agama yang dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat uma dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.
Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun. Bagaimana pun, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumber daya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai. Dalam melakukan kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma, maka biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll.) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan atau upacara.
Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu, pisang, dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu, dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, monyet, dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari kolam atau sungai.
Kepustakaan
Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh; Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka
Soebadyo, Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
….. Sosial Budaya Masyarakat Mentawai . [Online]. Terdapat di. http://tamannasionalsiberut.org/sosial-budaya-masyarakat-mentawai.html. [30/06/2010]
…...Kebudayaan Mentawai Tidak Mengenal Logam?. [Online]. Terdapat di.
http://uun-halimah.blogspot.com/2007/11/kebudayaan-mentawai-tidak-mengenal.html. [30/06/2010]
Pendidikan Karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
sumber:
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
sumber:
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
Kamis, 01 Juli 2010
Candi Banyu nibo
Beautifully carved double makara-motif is above the niche which frames a seated female deity. Three stone oxen stand in a row. You can see the spaces where the most important sculpture has been robbed. Most of the roof is missing. A statue of a goddess points of Java's ancient links with Ceylon, some believe, in its strong facial and bodily form, very reminiscent of India. An almost duplicate goddess can be found in a niche above the entrance of the House of Pilgrims behind the Temple of the Tooth in Kandy, Sri Lanka.
sumber:
http://www.borobudurpark.co.id/en-banyunibo.html
foto: Rahmat s
peninggalan sejarah
Mengapa banyak peninggalan sejarah baik pra dan masa hindu Buddha di Indonesia benayak ditemukan tidak utuh...?
Topografi wilayah Indonesia mulai dari letak astronomisnya antara 6 derajat 08' LU- 11derajat 15 'LS dan antara 94 derajat 45 ' BT-141derajat 05'BT. Maka kondisi geografis Indonesia antara beriklim tropis dengan ciri-ciri curah hujan tinggi rata-rata kurang lebih 2000mm/tahun, temperatur udara rata-rata sepanjang tahun rata-rata 26 derajat. Batuan-batuan akan cepat mengalami pelapukan, tumbuh suburnya berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Indonesia memiliki kebudayaan yang bersifat tropis karena memang indonesia beriklim tropis :), bentuk kebudayaan ini bisa kita lihat dari bentuk rumah, cara berpakaian, matapencaharian dan juga cara pandang.
Selain faktor kondisi geografis faktor manusia ternyata sangat besar pengaruhnya. LIhat dan perhatikan secara seksama UUCB tahun 1992 di adakan tidaklain untuk melindungi BCB yang ada di Indonesia dari pengaruh negatif Manusia :). Selain itu juga terdapat tata cara pelestarian BCB disana.
Bagaimana sikap kita setelah tahu ini semua? apakah kita mau untuk selalu mengingat? Ya mengingat masalalu? untuk kita pelajari, kita gunakan untuk kesejah teraaan kehidupan kita sekarang? dan juga untuk kita proyeksikan kedepan menghadapi kejamnya globalisasi terhadap kebudayaan Indonesia?? semuanya berpulang pada kita semua sebagai generasi penerus bangsa.
Langganan:
Postingan (Atom)